PROBOLINGGO, PRUDENSI.COM-Sebuah surat kesepakatan damai yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa Pesisir, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo menuai polemik. Dokumen yang dimaksudkan untuk mendamaikan dua pihak keluarga, yakni keluarga Suwadji dan keluarga Farida, diduga mengandung cacat hukum. Salah satu poin dalam surat tersebut memuat pembagian harta warisan tanpa prosedur sah, disertai dugaan intimidasi terhadap pihak yang dalam kondisi sakit. Sabtu,  (19/07/2025).

Dalam salinan dokumen hasil mediasi yang diperoleh redaksi, tercantum poin keempat yang mengatur pembagian tanah warisan. Poin ini dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum waris, baik secara adat maupun hukum positif. Selain itu, pembagian dilakukan tanpa melibatkan seluruh ahli waris secara transparan, serta tanpa dilandasi surat keterangan waris resmi.

Tanah peninggalan Pringgo joyo seluas 1,6 ha dalam surat tersebut tanpa dasar jelas dibagi oleh Pemdes Peaisir untuk anak pertama Suwadji (0, 6ha) dan anak kedua Farida (1 ha), hal ini menimbulkan tanda tanya dan memunculkan dugaan kepentingan terselubung.

Suwadji (70), ketika dikonfirmasi di kediamannya di Desa Bulang, tampak dalam kondisi lemah dan sedang sakit. Saat ditanya wartawan, ia tidak langsung memberikan jawaban. Keluarganya menjelaskan bahwa Suwadji mengalami gangguan pendengaran akibat kecelakaan 25 tahun silam dan saat ini kesehatannya telah memburuk. Namun, dalam kesempatan singkat, Suwadji sempat berujar lirih, “Saya dipaksa,” merujuk pada proses penandatanganan surat hasil mediasi tersebut yang ia sebut terjadi dalam kondisi fisik yang sangat lemah.

Anak kedua Suwadji, Tutuk, menyatakan bahwa keluarga tidak diberi izin untuk mendampingi selama proses mediasi yang berlangsung hampir tiga jam. Ia juga mengaku mendapat perlakuan tidak pantas dari seorang oknum aparat berinisial A, yang disebut membentak dan menekan keluarga karena menolak menandatangani sebagai saksi.

“Saat itu saya benar-benar tidak diberi ruang untuk mendampingi bapak. Justru dimarahi dan ditekan,” ungkap Tutuk kepada wartawan.

Nur Laila, istri Suwadji, tak kuasa menahan tangis saat mengisahkan situasi tersebut. “Bapak itu sedang sakit. Saya sangat khawatir waktu beliau dipanggil ke balai desa,” ujarnya sambil terisak.

Ketegangan antara keluarga Suwadji dan keluarga Farida, yang merupakan saudari kandung Suwadji, disebut telah berlangsung lama. Farida memiliki seorang anak bernama Ririn, dan konflik keluarga ini disebut menjadi alasan utama di balik upaya mediasi yang dinilai terburu-buru dan sarat kepentingan.

Upaya konfirmasi kepada Kepala Desa Pesisir, Sanemo, hingga saat ini belum membuahkan hasil. Permintaan wawancara dan klarifikasi telah diajukan secara resmi oleh media, namun hanya dijanjikan akan dihubungi kembali. Media hendak meminta penjelasan terkait keabsahan prosedur mediasi, legalitas surat damai, serta dugaan pelanggaran hak warga dan intervensi yang terjadi dalam proses tersebut.

Atas dasar sejumlah temuan tersebut, pihak keluarga Suwadji telah mengajukan permohonan resmi untuk membatalkan dan menarik kembali surat damai hasil mediasi tersebut. Langkah ini diambil guna mencegah konflik berkepanjangan dan sebagai bentuk edukasi bahwa penyelesaian sengketa warisan harus dilakukan sesuai ketentuan hukum, bukan dengan tekanan atau intimidasi.

Perlu diketahui, hukum waris di Indonesia, baik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Hukum Islam, maupun hukum adat, mengatur bahwa pembagian warisan wajib dilakukan melalui prosedur yang sah. Ini termasuk pelibatan seluruh ahli waris, penerbitan surat keterangan waris resmi, dan apabila diperlukan, penetapan melalui akta notaris atau keputusan pengadilan. Upaya mediasi pun tidak dibenarkan jika melanggar hak para pihak, apalagi jika melibatkan individu yang sedang dalam kondisi tidak seh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *