Fakta Tersembunyi: LGBTQ Menyebar di Aceh

ACEH — Di tengah citra Aceh sebagai daerah yang kuat dengan penerapan Syariat Islam, sejumlah kisah memilukan dari para perempuan menguak sisi lain yang jarang tersorot publik: kehancuran rumah tangga akibat pasangan yang ternyata memiliki orientasi seksual sesama jenis.
Sr (nama samaran), seorang perempuan asal Banda Aceh, menikah saat masih duduk di bangku kuliah. Suaminya, seorang pegawai negeri sipil yang ditugaskan di kawasan barat selatan Aceh, jarang pulang ke rumah karena pekerjaan. Hubungan jarak jauh itu membuat keduanya nyaris tak pernah bersama dalam waktu lama.
Namun, bukan jarak yang menjadi penyebab utama renggangnya hubungan mereka. “Anehnya, setiap kali bertemu, kami tidak pernah berhubungan suami istri,” ujarnya.
Sr sempat berprasangka baik dan mengira suaminya mengalami gangguan biologis karena faktor usia. “Selama kebutuhan saya dan keluarga terpenuhi, saya tidak mempermasalahkannya,” tuturnya.
Sepuluh tahun berlalu tanpa kejelasan. Hingga suatu hari, Sr datang berkunjung ke tempat kerja suaminya dan mendapati kenyataan pahit. Seorang pria tiba-tiba mengaku sebagai pasangan suaminya. “Pria itu bilang, ia diputus karena saya datang. Saat itu saya baru tahu kalau suami saya gay,” ujarnya getir.
Sr mengaku terpukul dan merasa dikhianati. “Saya merasa seperti memelihara kaum Nabi Luth,” kenangnya. Ia kemudian memutuskan untuk berpisah. Bahkan, hakim Mahkamah Syariah sempat menawarkan pembatalan pernikahan karena selama satu dekade ia tak pernah disentuh suami. Kini, Sr telah menikah lagi dan memiliki anak.
Kisah berbeda datang dari seorang dosen perempuan di salah satu kampus swasta di Banda Aceh. Ia menikah pada tahun 2018 karena desakan keluarga. “Saya pikir ini jalan terbaik. Saya sudah capek ditanya kapan menikah,” ujarnya lirih saat ditemui di Banda Aceh.
Namun sejak malam pertama, tidak ada keintiman yang terjadi. “Tidak ada sentuhan, tidak ada gairah. Saya mencoba membuka ruang, tapi dia tetap dingin,” kisahnya.
Selama beberapa tahun ia berusaha menutupi kondisi rumah tangganya dari keluarga besar. Namun tekanan datang ketika orang tua mertua terus berharap kehadiran cucu. “Saya bilang ke keluarga, saya sudah mencoba. Tapi dia tidak tertarik pada saya. Saya tahu ini berat, tapi saya tidak bisa terus berpura-pura,” ucapnya dengan suara bergetar.
Ia akhirnya memilih berpisah. Hingga kini, ia mengaku belum sanggup membuka hati lagi. Trauma masih membekas, terutama karena merasa ditipu oleh orang yang seharusnya menjadi pasangan hidup.
Kisah serupa juga dialami seorang perempuan PNS di Jantho, Aceh Besar. Menikah pada tahun 2015 karena dijodohkan, ia baru mengetahui bahwa suaminya gay setelah menikah. “Saya merasa seperti hidup dalam sandiwara,” ucapnya singkat.
Fenomena ini ternyata tidak berdiri sendiri. Di Banda Aceh, perilaku homoseksual dan praktik LGBTQ disebut-sebut semakin marak. Ani (nama samaran), seorang narasumber yang dekat dengan komunitas tersebut, mengungkapkan bahwa keberadaan kelompok LGBTQ di Aceh bukan hal baru.
“Pemerintah seolah menutup mata. Akibatnya, jumlah mereka terus bertambah,” kata Ani.
Ia menuturkan, saat melakukan penelitian tugas akhir di sebuah Puskesmas di Banda Aceh pada 2017, hasilnya cukup mengejutkan. “Banyak pasien dengan penyakit menular seksual, seperti Gonore dan HIV/AIDS. Pasiennya berasal dari berbagai kalangan — dari tukang becak hingga pejabat, dan hampir semuanya laki-laki,” ungkapnya.
Kepala Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah Satpol PP-WH Aceh, Marzuki, membenarkan bahwa praktik LGBTQ masih terus terjadi, meski jumlah kasus yang diungkap belum mencerminkan situasi sesungguhnya.
“Sepanjang tahun 2023 hingga 2025, kami mencatat delapan kasus perilaku homoseksual atau liwath,” jelasnya.
Rinciannya, dua kasus pada tahun 2023, empat pada 2024, dan dua kasus lainnya pada tahun 2025.
Menurutnya, kasus yang terungkap hanyalah bagian kecil dari fenomena yang lebih luas. “Pelaku berasal dari berbagai latar belakang — mahasiswa, pekerja, bahkan ASN. Berdasarkan laporan, jumlah mahasiswa yang terlibat cukup banyak, baik dari Aceh maupun luar daerah,” tambahnya.
Marzuki juga menegaskan bahwa laporan masyarakat serta data HIV/AIDS menunjukkan kecenderungan meningkatnya hubungan sesama jenis. “Beberapa wilayah seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, dan Aceh Barat mulai menunjukkan aktivitas yang mengarah pada perilaku LGBT,” ujarnya.
Fenomena ini tidak hanya menimbulkan masalah moral, tetapi juga berdampak sosial. Rumah tangga yang rusak, trauma psikologis, dan meningkatnya risiko penyakit menular hanyalah sebagian kecil dari akibatnya.
“LGBTQ bukan hanya persoalan pribadi, tetapi ancaman bagi tatanan sosial dan nilai agama,” ujar seorang tokoh masyarakat di Banda Aceh yang enggan disebutkan namanya.
Ia menilai, lemahnya pengawasan sosial dan akses media digital yang semakin terbuka menjadi salah satu penyebab pergeseran perilaku di kalangan muda.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyatakan komitmen memperketat hukuman bagi pelaku LGBTQ. Ketua Komisi VII DPRA, Ilmiza Saaduddin Djamal, menegaskan bahwa pihaknya akan mengadvokasi revisi Qanun Jinayat agar sanksi terhadap perilaku menyimpang diperberat.
“Kami siap sepenuhnya untuk mengadvokasi usulan revisi Qanun Jinayat agar dapat dimasukkan ke dalam Program Legislasi Aceh Tahun 2026,” kata Ilmiza.
Menurutnya, sanksi berat tidak hanya untuk pelaku, tetapi juga bagi pihak yang memfasilitasi atau membiarkan praktik tersebut terjadi. “Ini langkah penting untuk menjaga kemurnian pelaksanaan Syariat Islam di Aceh,” ujarnya.
Komisi VII DPRA menegaskan bahwa Aceh memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi generasi muda dari pengaruh perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Fenomena ini menjadi peringatan serius bahwa meski di bawah payung Syariat, ancaman penyimpangan moral tetap bisa merembes ke dalam kehidupan masyarakat. Kesadaran, pengawasan, dan pendidikan moral harus diperkuat agar nilai-nilai yang selama ini menjadi identitas Aceh tetap terjaga. []
Siti Sholehah.