Warga Keluhkan Dugaan Monopoli Kos oleh Oknum Guru, DPRD Siantar Tunda Keputusan hingga Panggil Pihak Yayasan

SUMATRA UTARA — Sejumlah warga Kelurahan Toba, Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar, Sumatra Utara, menyampaikan keluhan mereka kepada DPRD Kota Siantar terkait dugaan praktik monopoli usaha kos-kosan oleh seorang oknum guru di sekolah swasta.

Keluhan tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi II DPRD Siantar pada Rabu pagi (28/5/2025).

Dalam rapat itu, warga menyebut bahwa praktik yang dilakukan oknum guru tersebut telah menyebabkan penurunan signifikan terhadap pendapatan usaha kos-kosan masyarakat sekitar.

Oloan Sipayung, yang hadir mewakili warga, menjelaskan bahwa guru tersebut tidak hanya memiliki usaha kos-kosan, tetapi juga terus memperluas usahanya. Bahkan, guru itu diduga secara aktif mengarahkan orang tua dan siswa untuk memilih kos-kosan miliknya.

“Ada guru yang punya usaha kos-kosan dan sekarang dibangun lagi lebih besar. Diduga guru itu mengarahkan orang tua dan murid agar tinggal di tempatnya, sehingga usaha kami menjadi kosong,” ujar Oloan di hadapan anggota dewan.

Menurut Oloan, permasalahan ini sebenarnya telah dimediasi pada 2 Mei 2025 di Kantor Lurah setempat, dengan dihadiri pihak SMP dan SMA Bintang Timur serta para pengusaha kos-kosan

. Dalam mediasi tersebut disepakati beberapa poin penting, antara lain pihak sekolah atau guru tidak boleh mengarahkan siswa untuk tinggal di kos miliknya, pembatasan jumlah penghuni maksimal 50 orang, dan larangan menerima siswa dari sekolah yang sama untuk unit usaha baru.

“Kesepakatan itu tidak dijalankan. Karena itu kami mengadu ke DPRD,” tambahnya.

Ketua Komisi II DPRD Siantar, Hendra Pardede, menyatakan pihaknya memahami keresahan warga, namun belum dapat mengambil kesimpulan atau memberikan rekomendasi karena pihak yayasan sekolah belum hadir dalam rapat.

“Kami akan menjadwalkan ulang RDP dan memanggil pihak yayasan agar permasalahan ini bisa diklarifikasi dan diselesaikan secara adil,” kata Hendra.

Dalam rapat tersebut, oknum guru yang dilaporkan hadir bersama sejumlah kuasa hukumnya. Namun, setelah dilakukan musyawarah, peserta rapat sepakat bahwa yang sebaiknya memberikan pernyataan adalah pihak yayasan sekolah.

Guru dan pengacara pun tidak diberi kesempatan berbicara, dan rapat ditutup dengan penjadwalan ulang RDP pada pekan berikutnya.

Permasalahan ini akan kembali dibahas dengan menghadirkan pihak Yayasan SMA Bintang Timur agar DPRD dapat menelaah duduk perkara secara utuh dan memberikan keputusan berdasarkan prinsip keadilan bagi semua pihak. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Lainnya

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.