Pemprov Didesak Tuntaskan Sengketa Agraria

ADVERTORIAL — Ratusan warga di kawasan transmigrasi Simpang Pasir, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda, terus memperjuangkan kejelasan hak mereka atas lahan yang diklaim telah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pembangunan aset daerah. Sebanyak 118 kepala keluarga (KK) kini menunggu kepastian ganti rugi, setelah upaya negosiasi dan tuntutan hukum berjalan bertahun-tahun tanpa hasil final.

Permasalahan bermula dari pembangunan sejumlah infrastruktur milik pemerintah yang berdiri di atas lahan eks transmigrasi. Meskipun sebelumnya 84 KK telah menerima kompensasi setelah melalui putusan pengadilan, kelompok 118 KK lainnya justru masih terjebak dalam ketidakpastian.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalimantan Timur, Rozani Erawadi, menyebut bahwa pemerintah tidak mengabaikan nasib warga. Menurutnya, komitmen tetap dipegang, meskipun solusi belum tercapai. “Selama ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, pemerintah akan taat dan berkomitmen menyelesaikan sesuai aturan,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat bersama DPRD Kaltim, Rabu (30/04/2025).

Sebagai catatan, Pemprov Kaltim telah membayar kompensasi kepada 84 KK senilai Rp500 juta per KK, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3381 K/Pdt/2022. Anggaran sebesar Rp35 miliar digelontorkan, dan penyelesaiannya telah dinyatakan tuntas oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun ironisnya, kelompok 118 KK yang mengklaim lebih dahulu justru belum menerima hak serupa. Pemerintah pernah menawarkan lahan pengganti di Kutai Timur dan Paser, tetapi ditolak warga. Alasannya, lokasi terlalu jauh dari lingkungan sosial dan ekonomi mereka yang telah dibangun selama puluhan tahun. “Putusan pengadilan tidak menyebutkan secara spesifik lokasi pengganti harus di tempat yang sama. Tapi karena belum ada titik temu, kami sedang mencari solusi terbaik, termasuk meminta fatwa hukum atau saran dari lembaga terkait,” jelas Rozani.

Data yang dihimpun menyebutkan, dari total sekitar 300 KK yang mengklaim lahan, 60 KK telah meninggalkan lokasi, 84 telah menerima ganti rugi, dan sisanya masih bertahan menanti keadilan. Bagi sebagian besar dari mereka, perjuangan ini bukan sekadar soal nominal, melainkan hak hidup dan warisan atas tanah yang telah mereka garap dan tempati sejak masa transmigrasi.

Jika kelak diperoleh fatwa hukum yang mengizinkan pembayaran tunai dan disetujui oleh pemerintah provinsi, skema tersebut akan difasilitasi. Namun, verifikasi dan validasi tetap harus dilakukan untuk memastikan keakuratan penerima. “Intinya, kami tetap patuh pada keputusan pengadilan dan akan menjalankan kesepakatan yang sah sesuai aturan yang berlaku,” ujar Rozani.

Masyarakat Simpang Pasir kini berharap pemerintah tidak hanya menyuarakan komitmen, tetapi juga segera mewujudkannya dalam tindakan nyata. Ketidakpastian yang berkepanjangan dinilai dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap penyelesaian konflik agraria.

Kisah Simpang Pasir menjadi cermin peliknya dampak kebijakan masa lalu dalam program transmigrasi yang belum terselesaikan. Pemerintah dituntut menghadirkan penyelesaian menyeluruh — tidak hanya berdasarkan aspek hukum dan administrasi, tetapi juga dari sisi kemanusiaan dan keadilan sosial.

Penulis: Putri Aulia Maharani
Penyunting: Enggal Tria Amukti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *