Revitalisasi Pesantren Dorong Pembaruan Sistemik dan Perlindungan Santri

JAKARTA — Revitalisasi pesantren tidak hanya dimaknai sebagai penyempurnaan kurikulum atau sarana fisik, melainkan juga sebagai proses menyeluruh yang menuntut perubahan paradigma demi menjawab tantangan zaman.

Proses ini mencakup pembaruan sistem pembelajaran, penguatan kelembagaan, hingga penciptaan lingkungan yang aman dan bebas dari praktik perundungan (bullying).

Hal ini ditegaskan oleh Anggota Dewan Syuro DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus Anggota Komisi I DPR RI, Taufiq R Abdullah, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Menurutnya, revitalisasi pesantren adalah langkah strategis untuk memastikan peran pesantren tetap relevan dan adaptif dalam menghadapi dinamika sosial dan kemajuan teknologi.

“Revitalisasi bertujuan positif. Perubahan paradigma di lingkungan pesantren sebagai upaya menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, pesantren dituntut untuk tidak hanya berinovasi tetapi juga melakukan perubahan mendasar dalam berbagai aspek,” ujar Taufiq.

Ia menekankan bahwa transformasi yang dilakukan harus tetap berpijak pada prinsip dasar keislaman yang luhur, yakni al-muhafadzah ‘ala qadimissalih (mempertahankan tradisi yang baik), dan al-akhdu bil jadid al-aslah (mengambil hal baru yang lebih baik).

“Semua mencakup penekanan pada pemahaman ilmu yang integral, tidak terfragmentasi, serta kemampuan untuk memahami ajaran agama secara mendalam sesuai dengan konteks sosial yang terus dinamis,” katanya menambahkan.

Isu keselamatan dan kesejahteraan santri juga mendapat perhatian khusus. Taufiq menegaskan bahwa pesantren perlu lebih proaktif dalam menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, dan bebas dari segala bentuk perundungan.

Menurutnya, pendekatan tradisional dalam mendidik santri perlu ditransformasikan agar lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan zaman.

“Secara metodologis, pesantren perlu melakukan transformasi yang signifikan dari pendekatan tradisional yang cenderung kaku menjadi pendekatan yang lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menyampaikan bahwa transformasi menyeluruh meliputi cara berpikir, pengembangan kurikulum, manajemen operasional, strategi kelembagaan, pembangunan infrastruktur, hingga perluasan jaringan kerja sama adalah kebutuhan mendesak di era modern.

“Permasalahan pesantren semakin kompleks. Dukungan program, pengembangan usaha, hingga tercipta kemandirian ekonomi harus segera tercipta untuk kemajuan bangsa,” tegas Taufiq.

Ia juga menyoroti antusiasme tinggi dalam gelaran Konferensi Internasional Transformasi Pesantren yang dihadiri oleh 265 pondok pesantren. Menurutnya, partisipasi aktif dan semangat dalam diskusi mencerminkan kemauan kuat dari banyak pesantren untuk melakukan pembaruan dan benchmarking terhadap praktik terbaik dari lembaga lain.

“Pesantren-pesantren ini secara aktif mencari solusi dan strategi yang inovatif untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kehadiran mereka dalam forum ini juga dapat dilihat sebagai upaya strategi untuk melakukan benchmarking, sebuah proses perbandingan praktik terbaik, bagi pesantren lain yang sudah melakukan perubahan dan berupaya mengikuti perkembangan zaman,” tuturnya.

Di akhir keterangannya, Taufiq menegaskan bahwa secara historis, pesantren tidak hanya menjadi pusat kajian keislaman, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri dan nilai-nilai asli bangsa Indonesia.

“Dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia,” tutupnya. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *