Listrik Padam dan Kapal Tak Berlayar, Tokoh Bengkulu Kritik Keras Narasi Pemprov Soal Enggano

BENGKULU — Tokoh masyarakat Bengkulu sekaligus mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Muspani, mendesak Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk segera menghentikan narasi yang menggambarkan Pulau Enggano dalam kondisi baik-baik saja.

Ia menilai narasi tersebut tidak hanya menyesatkan, tetapi juga mengabaikan kenyataan hidup masyarakat Enggano yang terus dihantui pemadaman listrik, ketidakpastian transportasi, dan minimnya respons pemerintah.

“Sudah saatnya Pemerintah Provinsi berhenti bicara soal ‘koordinasi sudah dilakukan’ atau ‘sedang kami rancang’. Yang dibutuhkan warga adalah listrik yang menyala, kapal yang berlayar, dan kehidupan yang bergerak. Enggano tidak baik-baik saja. Dan kita semua tahu itu. Pertanyaannya: apakah Pemerintah Provinsi Bengkulu masih mau pura-pura tidak tahu?” tegas Muspani dalam pernyataan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (2/7/2025).

Pernyataan Muspani mengemuka usai diskusi publik bertajuk “Inpres Pulau Enggano: Tepis Isu Seolah Enggano Baik-baik Saja” yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu pada 29 Juni 2025 malam.

Diskusi yang berlangsung secara daring dari sekretariat AMAN di Kota Bengkulu dan beberapa titik di Pulau Enggano itu harus berakhir dalam kegelapan akibat pemadaman listrik rutin pukul 22.00 WIB.

“Simbolis sekali: kami bicara soal ‘janji terang’ dalam kondisi gelap gulita. Di sisi lain, narasi pemerintah menyebut BBM aman, stok pertalite cukup, dan gas elpiji melimpah. Tapi kenyataan di Enggano: listrik padam setiap hari, BBM tak jelas nyangkut di mana,” tambah Muspani.

Presiden RI, Prabowo Subianto, telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Penanganan Darurat Pulau Enggano dan Pelabuhan Pulau Baai pada 24 Juni 2025. Inpres ini secara khusus menugaskan Gubernur Bengkulu untuk:

Membentuk tim koordinasi daerah,

Mengalokasikan anggaran, dan

Mendukung proses perizinan lintas sektor.

Namun, hingga awal Juli, belum ada Surat Keputusan (SK) Gubernur atau pembentukan tim koordinasi sebagaimana diamanatkan Inpres.

Akademisi Universitas Bengkulu, Arie Elcaputra, menyebut Inpres tersebut belum berdampak nyata dan mendesak partisipasi adat serta pemantauan independen sebagai langkah penting.

Tokoh adat Enggano, Milson Kaitora, secara lugas menyebut narasi Enggano “baik-baik saja” adalah sebuah kebohongan.

Kepala Desa Kaana, Alamuddin, menyatakan bahwa yang dibutuhkan warganya adalah kapal pengangkut hasil bumi, bukan janji atau dokumen formal.

Aktivis perempuan Enggano, Puji Hendri, turut menyoroti beban psikologis perempuan di tengah krisis ekonomi, karena mereka menjadi pihak pertama yang harus berhemat saat rumah tangga mengalami kesulitan.

Diskusi tersebut menghasilkan beberapa tuntutan konkret, di antaranya:

Penerbitan segera SK Gubernur tentang pembentukan Tim Koordinasi Implementasi Inpres;

Inspeksi lapangan langsung oleh Gubernur atau Wakil Gubernur ke Pulau Enggano;

Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) berbasis Inpres yang disinkronkan ke RPJMD dan RKPD;

Pelibatan aktif Pemkab Bengkulu Utara, Kota Bengkulu, Pelindo, PLN, Pertamina, dan Kementerian teknis.

“Gubernur bukan hanya kepala daerah administratif, tetapi dirigen dari orkestra lintas sektor. Ia harus mampu menggerakkan seluruh elemen, agar pembangunan tidak macet di tumpukan surat dinas dan rapat koordinasi tanpa tindakan,” tegas Muspani.

“Kami Tidak Minta Belas Kasihan, Kami Minta Keadilan”

Warga Enggano, menurut Muspani, tidak mengemis perhatian, melainkan menuntut keadilan yang seharusnya menjadi hak semua warga negara.

Selama ini, mereka dipaksa belajar dalam gelap, berobat tanpa kepastian listrik, dan mengirim hasil bumi tanpa kejelasan kapal.

Seruan publik tersebut menegaskan bahwa persoalan Pulau Enggano bukan sekadar logistik, melainkan wujud konkret dari absennya negara di wilayah terpencil. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *