MA Kabulkan PK Setya Novanto, Hukuman dan Sanksi Politik Dikurangi

JAKARTA — Mahkamah Agung (MA) secara resmi mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, terpidana kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP).
Keputusan ini menuai sorotan publik karena berujung pada pemangkasan hukuman penjara dan pengurangan sanksi politik.
Dalam amar putusan yang dikutip dari situs resmi MA, disebutkan bahwa Setya Novanto kini dijatuhi pidana penjara selama 12 tahun 6 bulan, atau berkurang 2,5 tahun dari vonis awal yang dijatuhkan pada 2018, yakni 15 tahun penjara.
“Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda Rp500.000.000,00 subsidair 6 (enam) bulan kurungan,” demikian isi kutipan amar putusan MA.
Selain pemotongan masa hukuman penjara, MA juga mengurangi masa larangan Setya Novanto menduduki jabatan publik.
Sebelumnya, ia dijatuhi pidana tambahan berupa larangan selama lima tahun setelah menjalani masa tahanan. Kini, masa larangan itu dipangkas menjadi dua tahun enam bulan.
“Pidana tambahan mencabut hak Terpidana untuk menduduki dalam jabatan publik selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan terhitung sejak Terpidana selesai menjalani masa pemidanaan,” tertulis dalam putusan MA bertanggal 4 Juni 2025.
Majelis hakim PK dalam perkara ini diketuai oleh Hakim Agung Surya Jaya, dengan dua anggota yakni Sigid Triyono dan Wendy Pratama Putra.
Setnov, sapaan Setya Novanto, juga tetap dikenai kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta. Dari total tersebut, ia baru menyetorkan sekitar Rp5 miliar.
Sisanya, sebesar Rp49 miliar, harus dibayar atau diganti dengan pidana penjara dua tahun jika tidak mampu melunasinya.
“Sisa UP Rp49.052.289.803,00 subsidair 2 tahun penjara,” demikian tambahan amar putusan MA.
Setnov ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 17 November 2017. Dengan pengurangan hukuman dari 15 menjadi 12,5 tahun, maka secara hitungan kalender, Setnov akan bebas murni pada Mei 2030.
Namun, ia berpeluang bebas lebih cepat apabila mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat, sesuai ketentuan Undang-Undang Pemasyarakatan.
Merespons putusan MA ini, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto menyatakan lembaganya menghormati hasil PK meski terdapat pengurangan hukuman.
“KPK tetap menghormati putusan PK tersebut meskipun ada pengurangan atas pidana badan, karena memang tidak ada upaya hukum PK yang diberikan kepada KPK sebagai bentuk keberatan atas putusan PK dimaksud,” ujar Fitroh kepada wartawan, Rabu (2/7/2025).
Sementara itu, kuasa hukum Setnov, Maqdir Ismail, menyebut pengurangan hukuman masih belum memadai.
Ia meyakini kliennya seharusnya dibebaskan sepenuhnya karena tidak memiliki peran langsung dalam pengadaan proyek e-KTP.
“Menurut hemat saya, itu tidak cukup, seharusnya bebas,” kata Maqdir.
Menurutnya, pasal yang dikenakan kepada Setnov keliru. Ia berpendapat bahwa kliennya tidak memiliki kewenangan sebagai pengambil keputusan proyek e-KTP.
“Pak Novanto itu, menurut hemat kami tidak bisa dihukum dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3. Dia tidak mempunyai kewenangan terkait dengan pengadaan e-KTP,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa seandainya memang ada penerimaan uang, maka seharusnya itu dikategorikan sebagai gratifikasi atau suap, bukan korupsi berdasarkan penyalahgunaan wewenang.
“Dia dianggap terbukti menerima uang, tapi karena tidak ada jabatan terkait pengadaan, maka seharusnya dia terima uang sebagai gratifikasi atau suap,” terangnya.
Putusan PK ini memunculkan perdebatan baru di masyarakat, khususnya mengenai komitmen pemberantasan korupsi dan konsistensi dalam pemberian hukuman terhadap pelaku mega-skandal yang telah merugikan negara hingga triliunan rupiah. []
Nur Quratul Nabila A