Jalur Dalam PPDB Masih Marak, DPRD Dorong Perbaikan Fasilitas

ADVERTORIAL – Perubahan sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) dari zonasi ke domisili menuai tanggapan beragam dari kalangan legislatif daerah. Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan, menyatakan dukungannya terhadap sistem berbasis domisili, namun mengingatkan bahwa perubahan aturan tidak serta-merta menghilangkan celah penyimpangan jika akar persoalan belum diselesaikan.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa sistem domisili dirancang untuk menekan praktik manipulasi data yang kerap terjadi dalam sistem zonasi. Dalam sistem baru ini, calon peserta didik wajib memiliki Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan minimal satu tahun sebelum pendaftaran, dengan data orang tua atau wali yang sesuai dengan akta kelahiran dan rapor. Jika ada ketidaksesuaian tanpa bukti sah seperti akta cerai atau kematian, maka pendaftaran akan ditolak.
Menanggapi hal tersebut, Agusriansyah menilai bahwa kebijakan ini perlu dilihat dari berbagai sudut pandang. Menurutnya, praktik kecurangan tidak sepenuhnya bisa dihapus hanya dengan perubahan sistem, karena persoalan utama terletak pada keterbatasan fasilitas dan ketimpangan akses pendidikan. “Tergantung sudut pandang dalam menilainya, artinya ada celah yang digunakan oknum dan juga yang menggunakan bahasa misalnya melakukan rekomendasi-rekomendasi, bagi orang yang memiliki jabatan,” ungkapnya saat ditemui di Samarinda, Senin (9/6/2025).
Ia mengungkapkan bahwa fenomena orang tua mencari ‘jalur dalam’ untuk memastikan anaknya masuk sekolah negeri merupakan refleksi dari kondisi yang belum ideal, di mana daya tampung sekolah negeri tidak seimbang dengan jumlah siswa yang lulus tiap tahun. “Orang yang tidak mampu juga akan mencari oknum orang dalam yang bisa membantu, ini aspirasi dan tidak bisa disalahkan serta yang harus disalahkan substansi persoalannya yakni Rombel kurang, sekolah yang belum representatif dan belum memiliki bus yang merupakan fasilitas dari sekolah gratis,” jelas politisi PKS itu.
Agusriansyah juga menyinggung soal ketimpangan sarana prasarana antara sekolah-sekolah negeri, terutama di kawasan padat penduduk. Kondisi tersebut kerap dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan dalih menyalurkan aspirasi warga sekitar sekolah, terutama saat daya tampung sekolah tidak memadai. “Antara penerimaan dengan yang diterima jumlahnya berbeda maka komunikasi harus dibangun untuk menerima aspirasi masyarakat, hanya saja banyak orang yang punya pangkat dan jabatan yang memanfaatkan jalur aspirasi ini,” katanya.
Ia pun menegaskan bahwa tindakan orang tua yang mencoba mencari celah sistem tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa pembangunan satuan pendidikan belum merata di seluruh wilayah. Ketimpangan tersebut membuat sebagian warga merasa tidak mendapatkan keadilan, baik mereka yang berasal dari kalangan tidak mampu maupun yang memiliki posisi tertentu di masyarakat.
“Padahal yang ditolong ini, mau punya pangkat, jabatan atau yang tidak, sama-sama merasa diberlakukan tidak adil dalam sisi pemenuhan pendidikan,” tutupnya. Agusriansyah mendorong pemerintah untuk tidak hanya memperketat regulasi, tetapi juga mempercepat pembangunan sekolah-sekolah negeri yang berkualitas dan merata di semua wilayah, agar akses pendidikan benar-benar setara bagi seluruh masyarakat. []
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum