DPRD Kaltim Desak Evaluasi Tambang Picu Bencana

ADVERTORIAL – Meningkatnya frekuensi bencana alam di sejumlah wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara) dalam beberapa waktu terakhir memicu keprihatinan mendalam dari kalangan legislatif. Tak hanya sekadar akibat curah hujan tinggi, bencana seperti banjir dan tanah longsor dinilai semakin parah karena lemahnya kontrol terhadap aktivitas pertambangan yang tidak mengindahkan prinsip lingkungan hidup.
Anggota Komisi III DPRD Kalimantan Timur, Syarifatul Sya’diah, menyoroti hal ini sebagai kondisi yang sudah terlalu sering terjadi namun belum juga ditangani secara menyeluruh. Ia menyampaikan bahwa selain faktor cuaca ekstrem, eksploitasi sumber daya alam oleh sektor tambang yang tidak dibarengi kepatuhan terhadap kaidah lingkungan turut memperbesar dampak bencana.
“Banjir ini terjadi di banyak titik, termasuk Samarinda dan Kaltara. Curah hujan tinggi jadi penyebab utama, tapi aktivitas tambang yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan turut memperparah situasi,” kata Sya’diah, Minggu (08/06/2025).
Sya’diah menilai bahwa degradasi lingkungan di hulu sungai akibat pembukaan lahan dan hilangnya zona resapan air menjadikan kawasan hilir lebih rentan terdampak banjir. Dengan kata lain, rusaknya hutan dan bukit sebagai penyangga ekologis berbanding lurus dengan meningkatnya risiko bencana di permukiman penduduk.
Sebagai politisi dari Fraksi Partai Golkar, ia meminta agar Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur segera mengambil langkah konkret melalui evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin usaha pertambangan yang telah dikeluarkan. Evaluasi tersebut, tegasnya, tidak cukup dilakukan secara administratif semata.
“Evaluasi tidak boleh hanya sebatas administratif. Pemerintah harus melakukan pengawasan teknis dan menilai dampak ekologis di lapangan,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa perusahaan yang terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan dan memperparah bencana harus diberi sanksi tegas tanpa pandang bulu. Penegakan hukum, menurutnya, merupakan bentuk keberpihakan negara terhadap keberlanjutan alam dan keselamatan masyarakat.
Lebih jauh, Sya’diah menyatakan bahwa kehadiran industri tambang tidak bisa sepenuhnya dihindari. Namun, ia mengingatkan pentingnya prinsip keberlanjutan dalam setiap aktivitas industri ekstraktif.
Dengan kata lain, keberadaan tambang hanya dapat diterima jika berjalan selaras dengan tanggung jawab ekologis. “Keberadaan tambang tetap diperlukan, namun harus sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan perlindungan masyarakat,” ujarnya.
Fenomena cuaca ekstrem yang kian meningkat akibat perubahan iklim global juga menjadi peringatan serius akan perlunya kebijakan lingkungan yang lebih ketat. Sya’diah menggarisbawahi bahwa regulasi harus diperkuat dan pengawasan di lapangan diperketat, bukan sekadar menjadi dokumen kebijakan semata. “Kami harap pemerintah provinsi dapat memperkuat regulasi dan penegakan hukum demi menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan,” pungkasnya.
Pernyataan Sya’diah mencerminkan kegelisahan publik atas minimnya tindakan konkret terhadap aktivitas tambang yang berdampak lingkungan. Di tengah krisis iklim yang terus memburuk, perlindungan lingkungan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. []
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum