Kebijakan Inklusif Dibutuhkan untuk Pendidikan Non-Formal

ADVERTORIAL – Di tengah arus pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas pendidikan formal di Kalimantan Timur, terdapat satu pilar pendidikan yang masih berjalan tanpa dukungan memadai pendidikan non-formal berbasis agama, khususnya yang dijalankan oleh para guru Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Para pengajar ini selama bertahun-tahun menjadi penjaga garda depan pembinaan akhlak generasi muda, namun masih bergulat dengan keterbatasan penghidupan dan minim perhatian dari negara.

Kondisi tersebut menjadi perhatian serius dari Anggota Komisi I DPRD Kalimantan Timur, La Ode Nasir, yang menyoroti ketimpangan perlakuan antara guru pendidikan formal dan guru TPA. Ia menegaskan bahwa kontribusi guru TPA dalam membentuk karakter anak-anak tidak bisa diremehkan dan harus segera mendapat perlindungan serta pengakuan yang setara.

“Para guru TPA bekerja dalam diam, tapi hasil dari pengajaran mereka menentukan masa depan karakter anak-anak kita. Ini bukan pekerjaan kecil, melainkan pondasi peradaban,” ujar La Ode dalam keterangannya, Rabu (11/06/2025).

Ia menggambarkan bagaimana para guru ini menjalankan tugas dengan sukarela, bahkan sebagian besar tanpa menerima imbalan tetap. Ketergantungan pada sumbangan masyarakat menjadi satu-satunya tumpuan mereka, sementara negara belum sepenuhnya hadir dalam bentuk kebijakan konkret untuk kesejahteraan mereka.

“Banyak di antara mereka yang tidak mendapat honor sama sekali. Padahal mereka mengemban misi pendidikan karakter yang sangat fundamental. Ini harusnya jadi perhatian utama pemerintah,” tegasnya.

La Ode menyerukan agar pembangunan sumber daya manusia tidak hanya difokuskan pada aspek teknis dan akademik, tetapi juga harus memperkuat pendidikan moral dan spiritual yang diajarkan di lembaga-lembaga non-formal. Ia mengusulkan agar pemerintah daerah mulai mengalokasikan anggaran khusus dari APBD atau melalui skema hibah untuk mendukung keberlangsungan pendidikan keagamaan rakyat.

“Apresiasi terhadap guru TPA tidak cukup hanya dengan ucapan terima kasih. Sudah waktunya ada kebijakan yang melindungi dan menyejahterakan mereka. Ini adalah tanggung jawab moral dan sosial kita bersama,” katanya lagi.

Ia pun mempertanyakan kesenjangan kebijakan yang berlaku antara guru sekolah umum yang telah memperoleh berbagai tunjangan dan perlindungan jaminan sosial, dengan para guru TPA yang nyaris tak tersentuh dukungan serupa. “Jika guru-guru di sekolah formal bisa mendapatkan tunjangan dan perlindungan, mengapa guru TPA tidak? Mereka juga mendidik, bahkan di bidang yang paling mendasar: akhlak dan spiritualitas,” ucap La Ode.

Sebagai langkah awal, ia menekankan perlunya pendataan menyeluruh terhadap guru TPA di seluruh wilayah Kalimantan Timur agar pemerintah memiliki dasar yang kuat dalam menyusun kebijakan yang tepat sasaran. Tanpa data yang jelas, upaya untuk membantu mereka akan sulit direalisasikan.

“Pemerintah daerah harus hadir. Jangan biarkan para pendidik karakter ini berjuang sendiri. Kita harus memastikan masa depan mereka, karena masa depan anak-anak kita juga ada di tangan mereka,” pungkasnya.

Dengan semakin kompleksnya tantangan kehidupan sosial dan budaya, kehadiran guru TPA menjadi semakin penting dalam membentengi generasi muda dari krisis moral. Karena itu, penguatan peran dan kesejahteraan mereka perlu menjadi bagian dari agenda strategis pembangunan daerah yang berkelanjutan. []

Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *