Warga Sebuntal Tagih Janji Ganti Rugi PSN Marangkayu

KUTAI KARTANEGARA – Konflik berkepanjangan terkait genangan lahan akibat pembangunan Bendungan Marangkayu kembali mencuat, ketika puluhan warga Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, mengambil langkah tak biasa.
Mereka memilih menginap di ruang rapat DPRD Kukar, Kamis (10/7/2025), sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakjelasan penyelesaian ganti rugi lahan mereka yang telah terendam selama hampir dua dekade.
Bendungan Marangkayu yang merupakan proyek strategis nasional (PSN) semestinya menjadi solusi infrastruktur air di Kalimantan Timur.
Namun, di balik megahnya pembangunan, puluhan keluarga di Desa Sebuntal menanggung akibat langsung dari genangan air yang bukan disebabkan oleh banjir, melainkan penggenangan permanen akibat fungsi bendungan.
“Tenggelam lho Pak, genangan air, bukan banjir lho Pak, dia tenggelamkan, ya sengaja Pak. Kalau banjir itu kan langsung habis air, kalau itu tidak Pak, tergenang, airnya tidak bisa mengalir,” ungkap Mainur, salah satu warga terdampak yang mengaku lahannya berubah menjadi danau buatan tanpa kejelasan kompensasi hingga kini.
Warga tidak menolak pembangunan bendungan, bahkan sebagian besar menyambutnya dengan harapan kesejahteraan.
Namun harapan itu memudar seiring tak kunjung dituntaskannya pembayaran ganti rugi atas sawah, permukiman, dan sumber mata pencaharian mereka yang kini hanya tinggal kenangan.
“Kami memohon kepada pemerintah, termasuk kepada Prabowo (Presiden), tolong kami diselesaikan hak-hak kami, karena tumpuan hidup kami hanya di situ, penghasilan kami,” kata Mainur dalam pernyataan terbuka.
Aksi tidur yang dilakukan warga di ruang rapat DPRD Kukar bukan sekadar unjuk rasa biasa.
Mereka membawa spanduk dan tuntutan, bukan hanya kepada pemerintah daerah, tapi langsung kepada Presiden Prabowo Subianto, yang kini diharapkan turun tangan menyelesaikan konflik yang telah berlangsung sejak 2007.
Areza, warga lainnya, menegaskan bahwa persoalan utama bukanlah keberadaan bendungan, melainkan mandeknya proses pembebasan lahan.
“Sebenarnya kami sangat bersyukur adanya bendungan, tapi pada intinya hak-hak kami tidak diselesaikan, termasuk pembebasan ganti rugi lahan kami. Sampai sekarang ini sudah bisa dikatakan 18 tahun belum clear sampai pembayaran ini,” ujarnya.
Ketua DPRD Kukar, Ahmad Yani, menyoroti bahwa lambannya penyelesaian ganti rugi tidak semestinya menjadi alasan untuk mengorbankan warga.
Menurutnya, proyek PSN harus tetap berjalan, namun hak warga tidak boleh diabaikan.
“Karena kebetulan ini secara peraturan perundang-undangan ini adalah PSN, proyek strategis nasional yang harus diamankan, harus dilaksanakan. Jangan gara-gara persoalan HGU, persoalan sepele, itu harus gugur dengan sendirinya,” tegas Yani.
Ia juga menambahkan bahwa klaim Hak Guna Usaha (HGU) dari perusahaan pelat merah tidak semestinya menjadi penghalang.
“HGU-nya kebetulan juga adalah bagian dari plat merah punya negara. Harus mengalah dong. Tidak boleh saling untuk masyarakat,” lanjutnya.
Ahmad Yani mendesak Balai Wilayah Sungai (BWS) IV Kalimantan untuk segera merealisasikan pembayaran ganti rugi.
“Masyarakat hanya butuh bagaimana tanam tumbuhnya, rumahnya yang ada di situ, kerjaannya selama ini puluhan tahun, itu diselesaikan. Jadi mudah. Dan saya harap ini persoalan yang mudah dan tentu balai wilayah sungai itu sebenarnya sudah siap membayar,” kata dia.
Dengan meningkatnya tekanan kepada pemerintah pusat, masyarakat berharap bahwa Presiden Prabowo Subianto mampu memberikan perhatian nyata dan kebijakan tegas guna menuntaskan sengketa yang mengakar ini. []
Nur Quratul Nabila A