Menteri PPPA: Dua Minggu, 2.000 Kasus Kekerasan Dilaporkan

JAKARTA — Lonjakan tajam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mendorong pemerintah untuk segera merevisi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2014.
Revisi tersebut diharapkan mampu menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah dalam menghadapi darurat kekerasan yang makin memprihatinkan.
Revisi Inpres ini akan disinkronkan dengan regulasi yang telah ada, antara lain Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA), serta Peraturan Presiden tentang Tunas Indonesia (PP TUNAS).
Tak hanya itu, kebijakan ini juga akan dilengkapi dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD), agar dapat diintegrasikan secara konkret ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah.
Dalam forum yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan keprihatinannya terhadap tren kekerasan yang terus meningkat secara drastis di tahun 2025.
“Sejak Januari hingga 14 Juni 2025, pelaporan kekerasan mencapai sekitar 11.800 kasus,” ujar Arifah. Namun yang lebih mengejutkan, lanjutnya, hanya dalam kurun waktu dua minggu lebih, angka itu melonjak lebih dari 2.000 kasus.
“Betapa kaget saya, ketika mengecek pada 7 Juli 2025, pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah berada di angka sekitar 13 ribu. Artinya dalam waktu 2 minggu lebih, jumlah kasus yang terlaporkan sudah di atas 2.000 kasus,” ungkapnya.
Yang membuat keadaan semakin memprihatinkan, mayoritas kasus yang dilaporkan merupakan kekerasan asusila, dan sebagian besar korbannya adalah perempuan.
Arifah menyebutkan bahwa lingkungan rumah tangga menjadi tempat paling banyak terjadinya kekerasan, dengan pelaku kebanyakan berasal dari lingkaran terdekat.
“Kekerasan ini paling banyak terjadi di lingkungan rumah tangga. Sehingga dapat diartikan pelaku kebanyakan merupakan orang-orang sekitar atau orang terdekat,” tegasnya.
Analisis yang dilakukan kementeriannya mengidentifikasi tiga penyebab utama maraknya kekerasan ini: pertama, pola asuh yang tidak tepat dalam keluarga; kedua, penggunaan gawai secara tidak bijak; dan ketiga, lemahnya fungsi kontrol keluarga itu sendiri.
“Dari beberapa kekerasan yang dialami atau dilakukan oleh anak-anak, hampir sebagian besar sumbernya, penyebabnya, dari pengaruh medsos atau gadget,” jelas Arifah.
Menyadari kompleksitas persoalan ini, Kementerian PPPA menggulirkan inisiatif kolaboratif lintas sektor melalui pembentukan “Ruang Bersama Indonesia”.
Ruang ini dirancang sebagai platform sinergi antara kementerian, pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan dunia usaha dalam mengantisipasi dan menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Arifah menyambut baik rencana revisi Inpres 5/2014 sebagai langkah strategis untuk mengingatkan kembali seluruh pemangku kepentingan mengenai tanggung jawab bersama dalam menanggulangi kekerasan.
“Dengan revisi ini, maka semua pihak akan diingatkan kembali mengenai tugasnya terkait urgensi penanganan kekerasan saat ini. Termasuk langkah-langkah kolaborasi dalam penanganan kasus yang ada,” katanya.
Revisi kebijakan ini diharapkan tidak hanya menjadi simbol kepedulian negara, melainkan instrumen nyata untuk menghentikan kekerasan yang terus menggerus generasi bangsa.
Keterlibatan berbagai pihak — dari tingkat pusat hingga desa — dinilai krusial agar perlindungan anak dan perempuan tidak lagi sekadar slogan. []
Nur Quratul Nabila A