Mahasiswa Unram Gugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, Ini Pokok Gugatannya

MATARAM — Sejumlah mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Politik (FHISIP) Universitas Mataram (Unram), Nusa Tenggara Barat, resmi mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara 104/PUU-XXIII/2025.
Permohonan diajukan oleh empat pemohon, yakni Yusron Ashalirrohman (Pemohon I), Roby Nurdiansyah (Pemohon II), Yudi Pratama Putra (Pemohon III), dan Muhammad Khairi Muslimin (Pemohon IV). Mereka tergabung dalam Forum Mahasiswa Pengkaji Konstitusi (Formasi) Unram.
Sidang pendahuluan perkara digelar di lantai 4 Gedung II MK, Jakarta, dengan dipimpin oleh Majelis Panel Hakim Konstitusi yang terdiri atas Saldi Isra (Ketua Majelis), serta dua anggota majelis, yakni Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.
Pemohon I dan II hadir secara langsung, sementara Pemohon III dan IV mengikuti sidang melalui daring.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon mempersoalkan Pasal 139 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 140 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 yang menetapkan bahwa rekomendasi Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada tidak memiliki kekuatan mengikat, berbeda dengan putusan hukum.
Menurut para pemohon, hal tersebut menimbulkan kekosongan hukum karena rekomendasi Bawaslu tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan tidak mengandung daya paksa terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), sehingga seringkali diabaikan.
“Ketentuan ini menyebabkan Bawaslu hanya bertindak sebagai pemberi rekomendasi tanpa wewenang mengikat, berbeda dengan pemilu yang memberikan kewenangan memutus pelanggaran administrasi secara penuh,” demikian bunyi permohonan mereka.
Mereka menyebut, ketimpangan kewenangan antara UU Pemilu dan UU Pilkada itu telah menimbulkan persoalan nyata sejak pelaksanaan Pilkada tahun 2018, 2020, hingga 2024.
Padahal, menurut mereka, putusan MK sebelumnya, Nomor 48/PUU-XVII/2019, telah menegaskan kesetaraan kedudukan antara pengawas pemilu dan pilkada.
Dengan gugatan ini, para pemohon berharap MK sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi dapat mengembalikan kewenangan penuh Bawaslu sebagaimana yang berlaku dalam pemilu nasional, demi menjamin kepastian hukum, keadilan, dan integritas proses demokrasi lokal.
“Sudah saatnya MK menghapus pembedaan perlakuan antara pengawas pemilu dan pengawas pilkada. Dalam praktik, dampak pelanggaran administratif di pilkada tidak kalah serius dari pemilu,” ujar salah satu pemohon usai persidangan.
Dalam akhir sidang pendahuluan, majelis hakim memberikan sejumlah saran teknis perbaikan terhadap permohonan untuk disempurnakan pada tahap selanjutnya. [[
Nur Quratul Nabila A