Gubernur Jakarta dan Jabar Saling Sindir Soal Macet dan Banjir

JAKARTA — Dua kepala daerah, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, saling melempar sindiran terkait dua masalah klasik yang selama ini membayangi wilayah masing-masing: kemacetan dan banjir.

Sindiran pertama dilontarkan Pramono saat memberikan sambutan dalam Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi yang digelar pasca-pelantikan kepala daerah dari wilayah Jakarta, Lampung, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Banten, dan Jawa Barat, di Ancol, Jakarta Utara, pada Kamis (10/7/2025).

Dengan gaya santai, Pramono menyindir kemacetan parah di Kota Bandung.

“Jakarta yang biasanya ranking satu di Indonesia dan selalu masuk 10 besar kota termacet di dunia, sekarang nomor satunya Bandung. Mumpung Pak Gubernur Jawa Baratnya belum ada,” ucap Pramono sambil tertawa.

Berdasarkan data TomTom Traffic Index, Bandung saat ini menempati posisi pertama kota termacet di Indonesia. Disusul oleh Medan, Palembang, dan Surabaya. Jakarta sendiri berada di peringkat kelima, turun drastis dari posisinya sebelumnya yang kerap menduduki puncak.

Secara global, Jakarta juga turun ke peringkat ke-90 dari daftar kota termacet dunia.

Pramono mengklaim bahwa penurunan tingkat kemacetan di Jakarta merupakan hasil dari kebijakan transportasi publik, salah satunya kewajiban bagi aparatur sipil negara (ASN) untuk menggunakan transportasi umum setiap hari Rabu.

“Jumlah penumpang naik menjadi sekitar 120.000. ASN naik, keluarganya juga ikut. Jadi kalau ke Jakarta hari Rabu, pasti kemacetannya berkurang,” ujar Pramono.

Ia juga menyoroti keberhasilan program Transjabodetabek, serta subsidi tarif bus umum pagi hari yang hanya dikenakan Rp 2.000 sebelum pukul 07.00. “Tujuannya untuk mengubah karakter masyarakat agar meninggalkan kendaraan pribadi,” tegasnya.

Menanggapi sindiran Pramono, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pun angkat bicara dalam forum yang sama. Dedi membantah anggapan bahwa banjir di Jakarta selalu disebabkan oleh “kiriman” dari wilayah hulu seperti Bogor.

“Enggak ada banjir kiriman dari Bogor. Air itu mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah. Itu aspek siklus alam,” kata Dedi.

Namun ia mengakui bahwa perubahan tata ruang dan alih fungsi lahan di wilayah hulu turut memengaruhi kondisi lingkungan, termasuk potensi banjir. Dedi menyentil bahwa pelaku utama alih fungsi lahan bukan hanya warga setempat, tetapi juga pengusaha dari luar daerah.

Terkait keberadaan Bendungan Ciawi, Dedi menyebut bahwa fungsi bendungan tersebut hanya sementara menahan debit air. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya penataan wilayah hilir Jakarta.

“Bendungan itu airnya mampir, lalu tetap mengalir ke bawah. Jadi hilirnya juga harus ditata. Selama sungai masih dangkal, sempit, dan rawa-rawa terus diuruk, banjir pasti akan terus terjadi,” tegas Dedi.

Pemprov Jawa Barat, lanjut dia, tengah berupaya melakukan pemulihan lingkungan melalui revisi tata ruang dan pembongkaran bangunan yang berdiri di atas daerah aliran sungai (DAS).

“Pemulihan lingkungan itu lebih mahal dari pembangunan. Butuh kerja sama lintas sektor,” pungkasnya. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *