Negara Ambil Alih Kebun Sawit di Taman Nasional Tesso Nilo, Warga Tolak Relokasi

PEKANBARU — Lahan perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau, akan diambil alih dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Rencana ini dijalankan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dalam rangka mengembalikan fungsi kawasan hutan yang telah digarap warga secara ilegal.

Komandan Satgas PKH, Mayjen TNI Dody Triwinarto, dalam audiensi Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI di Kantor Gubernur Riau pada Kamis (10/7/2025), menyatakan bahwa kawasan TNTN yang kini dikuasai oleh warga mencapai 85.000 hektar.

Lahan tersebut meliputi kawasan hutan tanaman industri (HTI), bekas HTI, serta wilayah konservasi.

“Di TNTN ini ada yang merupakan areal konservasi, dan ada yang merupakan kawasan HTI maupun eks HTI,” ujar Dody.

Menurut Dody, kebun sawit yang berada dalam kawasan konservasi akan dikembalikan fungsinya sebagai hutan untuk keberlangsungan satwa liar seperti gajah dan harimau sumatera.

Sementara itu, kebun sawit yang berada dalam kawasan HTI dan eks HTI akan diambil alih oleh negara dan dikelola oleh PT Agrinas Palma Nusantara, sebuah perusahaan pelat merah.

“Treatment-nya berbeda. Tidak dikembalikan menjadi hutan, tetapi dikelola negara lewat BUMN. Setelah didata dan dikuasai, akan dikelola oleh PT Agrinas. Penyelesaiannya setelah Agustus,” jelasnya.

Rencana pengambilalihan ini ditentang warga yang telah menggarap dan menempati lahan di kawasan TNTN selama bertahun-tahun. Salah satu perwakilan warga, Abdul Aziz, menyatakan bahwa masyarakat tidak akan bersedia relokasi secara mandiri dari lahan yang selama ini mereka kelola.

“Jadi tujuan negara ini sebenarnya apa? Menyelamatkan gajah atau merampas tanah kebun kami?” ujar Aziz kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Sabtu (12/7/2025).

Menurut Aziz, kebun sawit tersebut dibeli dan dibangun dengan jerih payah warga. Ia menolak klaim bahwa masyarakat telah melakukan perambahan hutan secara ilegal, mengingat banyak warga tidak mengetahui batas pasti kawasan konservasi karena belum ada proses pengukuhan.

“Kami tidak pernah diberi tahu mana batas konservasi, mana kawasan. Bahkan sampai 2016 status kawasan hutan di Riau masih penunjukan, belum dikukuhkan,” tegasnya.

Aziz juga menyayangkan tindakan pemerintah yang langsung mengambil alih lahan tanpa melalui proses hukum yang sah. Menurutnya, jika memang ada pelanggaran, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan, bukan tindakan sepihak.

Lebih lanjut, Aziz mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, khususnya Pasal 24 dan 28, yang menyebut bahwa masyarakat yang telah menguasai lahan di kawasan hutan maksimal lima hektar selama lima tahun atau lebih tidak dapat diusir, melainkan harus dimitrakan.

“Kalau di areal konservasi pun, harusnya dimitrakan dengan konsep konservasi, bukan langsung digusur,” tegasnya.

Ia juga berharap agar proses penertiban dilakukan sesuai hukum, dan meyakini Presiden Prabowo Subianto akan menjunjung tinggi asas legalitas dalam penegakan aturan kehutanan.

Sebelumnya, Satgas PKH telah melakukan penertiban lahan di TNTN dan memberi tenggat waktu tiga bulan kepada warga untuk melakukan relokasi mandiri. Namun, hingga kini mayoritas warga tetap bertahan dan menolak meninggalkan lahan yang mereka klaim telah dikelola selama bertahun-tahun. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *