Sidang Kasus Penembakan Pelajar di Medan Digeruduk Massa

MEDAN — Ketegangan menyelimuti jalannya sidang pembelaan dua prajurit TNI AD di Pengadilan Militer I-02 Medan, Kamis (17/7/2025), dalam perkara penembakan pelajar SMP berinisial MAF (13) yang terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Di luar ruang sidang, gelombang protes masyarakat bergema, mempertanyakan integritas proses hukum dan menuntut keadilan yang setimpal.
Dua anggota Kodim 0204 Deli Serdang, Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu, menjalani persidangan dengan agenda pembacaan pledoi atau nota pembelaan. Keduanya dituduh melakukan penembakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seorang remaja.
Namun, alih-alih menunjukkan sikap bertanggung jawab, kedua terdakwa justru memohon keringanan hukuman di hadapan majelis hakim.
“Mohon izin yang mulia, kiranya memberikan hukuman yang ringan kepada saya,” ujar Serka Darmen sambil menangis, menyebut istri dan anaknya sebagai alasan permohonan ampun.
Senada, Hendra mengungkapkan kondisi istrinya yang tengah mengidap tumor otak serta keluhannya tidak menerima gaji.
Penasihat hukum keduanya, Sertu Aditya Yusniadi, turut mengajukan alasan meringankan, seperti pengakuan jujur terdakwa, status mereka sebagai tulang punggung keluarga, dan catatan disiplin bersih selama bertugas.
“Kami mohon agar keduanya diberi kesempatan untuk kembali mengabdi kepada satuannya dan diberi hukuman seringan-ringannya,” katanya.
Di sisi lain, permohonan keringanan itu justru memantik kemarahan publik. Sejumlah aktivis dari Aliansi Solidaritas MAF menggelar aksi di luar pengadilan, mempersoalkan kejanggalan tuntutan jaksa yang dinilai terlalu ringan.
Koordinator aksi, Bonaerges Marbun, mengungkapkan adanya perubahan pasal yang mendadak.
“Awalnya ada pasal-pasal berat, tapi tiba-tiba hanya dijerat Pasal 359 KUHP. Ini sangat janggal,” tegasnya. Ia juga menyoroti perbandingan yang tidak masuk akal dengan tuntutan terhadap warga sipil yang terlibat, yang justru dijatuhi hukuman jauh lebih berat.
Aksi protes sempat memanas ketika pagar pengadilan ditutup rapat oleh aparat militer. Fitriyani, ibu MAF, memohon dengan suara tersedu-sedu agar massa, termasuk teman-teman anaknya, diizinkan masuk ke area pengadilan.
“Pak, tolong buka pagarnya. Mereka ini anak-anak saya. Anak saya mati, pelakunya hanya divonis 18 bulan. Di mana keadilan itu?” teriaknya pilu.
Akhirnya, perwakilan massa, staf KontraS Sumut, serta Fitriyani diizinkan bertemu langsung dengan Kepala Pengadilan Militer I-02 Medan, Kolonel Rony Suryandoko.
Namun hingga kini belum ada pernyataan resmi dari pihak pengadilan mengenai respons terhadap pledoi maupun desakan publik.
Dari sisi kronologi, tragedi ini bermula ketika MAF keluar rumah pada Sabtu malam (31/5/2024) dan tak kunjung kembali. Esok harinya, keluarganya menerima kabar bahwa MAF meninggal akibat luka tembak.
Ia diduga sempat diajak ke lokasi yang rawan terjadi tawuran, lalu dikejar dua mobil, salah satunya dikendarai oleh para terdakwa.
Insiden penembakan itu terjadi di depan Ruko PTPN IV Adolina, saat MAF tertembak dan jatuh ke dalam parit.
Penyelidikan menyebutkan bahwa kedua prajurit TNI itu berinisiatif melakukan pengejaran tanpa prosedur resmi.
Dalam sidang sebelumnya, oditur militer Mayor Tecki menuntut Serka Darmen dengan hukuman penjara 18 bulan dan Serda Hendra selama 1 tahun. Tuntutan ini didasarkan pada Pasal 359 Jo Pasal 55 ayat 1 KUHPidana.
“Saya tidak terima kalau hukumannya cuma segitu. Seharusnya minimal 10 tahun atau bahkan hukuman mati,” ujar Fitriyani, menilai bahwa pengadilan militer gagal memberikan rasa keadilan bagi korban. []
Nur Quratul Nabila A