Kemenkum: Sound Horeg Tak Bisa Dilindungi Jika Langgar Norma

SURABAYA – Maraknya penggunaan sound system berkekuatan tinggi yang dikenal dengan istilah “sound horeg” mendapat perhatian serius dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur.
Dalam Fatwa Nomor 1 Tahun 2025, MUI Jatim menetapkan bahwa penggunaan sound horeg dengan volume melebihi batas wajar haram secara mutlak, karena menimbulkan mudarat dan dianggap sebagai tindakan pemborosan serta merusak ketertiban sosial.
Sound horeg, yang kerap digunakan dalam berbagai hajatan, konvoi, hingga pertunjukan keliling, menjadi sorotan karena kerap kali menyebabkan kebisingan ekstrem dan mengganggu ketenangan warga.
Menurut MUI Jatim, suara bising ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga berpotensi membahayakan kesehatan serta menimbulkan kerusakan fasilitas umum dan properti warga.
“Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain, wajib dilakukan penggantian,” ujar Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin dalam keterangannya, Sabtu (19/7/2025).
Meski demikian, MUI tetap membuka ruang penggunaan sound system besar tersebut dalam batas kewajaran dan untuk kegiatan yang bersifat positif, seperti pengajian, resepsi pernikahan, atau shalawatan.
Syaratnya, penggunaan harus steril dari kemungkaran seperti berjoget pria-wanita membuka aurat, serta tidak menimbulkan kerusakan sosial atau melanggar norma agama.
“Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara secara wajar untuk berbagai kegiatan positif seperti resepsi pernikahan, pengajian, shalawatan dan lain-lain, serta steril dari hal-hal yang diharamkan hukumnya boleh,” tambah KH Ma’ruf Khozin.
Fatwa ini juga menekankan perlunya regulasi dari pemerintah daerah. MUI Jatim meminta agar Pemerintah Provinsi Jawa Timur menginstruksikan kepada pemerintah kabupaten dan kota untuk membuat aturan teknis terkait penggunaan pengeras suara, termasuk perizinan, standar volume, serta sanksi hukum.
“Meminta kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur agar segera membuat aturan sesuai kewenangannya tentang penggunaan alat pengeras suara, termasuk norma agama,” bunyi salah satu poin dalam fatwa.
Tidak hanya kepada pemda, MUI juga merekomendasikan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk tidak menerbitkan hak kekayaan intelektual (HKI) terhadap praktik atau produk terkait sound horeg sebelum ada penyesuaian dengan norma dan aturan yang berlaku.
Menanggapi fatwa tersebut, Kementerian Hukum dan HAM melalui Dirjen Kekayaan Intelektual, Razilu, menyatakan bahwa ekspresi seni seperti sound horeg memang bisa memperoleh hak cipta saat ditampilkan secara publik, tetapi harus memperhatikan etika sosial.
“Sebagai bentuk ekspresi seni, sound horeg harus mengikuti norma agama, sosial, dan ketertiban umum. Jika sudah menimbulkan permasalahan, tentu bisa dibatasi,” ujarnya dikutip dari laman resmi Kanwil Kemenkumham Kepulauan Riau.
Razilu menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta secara jelas mengatur pembatasan penyiaran karya yang bertentangan dengan nilai moral, agama, hingga ketertiban umum.
“Jadi yang terpenting adalah mengatur perizinan dan melakukan monitoring saat pelaksanaan sound horeg, sehingga keterlibatan instansi-instansi yang lebih berwenang menjadi sentral terkait hal ini,” tegasnya.
Sementara itu, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur menyatakan melarang penggunaan sound horeg secara resmi.
Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada penjelasan mengenai bentuk sanksi atau penindakan terhadap pelanggaran tersebut.
Fatwa ini mulai berlaku sejak 12 Juli 2025 dan akan diperbarui apabila diperlukan. Ke depan, fatwa tersebut dipandang sebagai langkah awal menuju harmonisasi antara ekspresi budaya dan hak masyarakat atas ketenangan serta lingkungan yang sehat. []
Nur Quratul Nabila A