Terungkap! Pria yang Tewas Dimutilasi Istri di Banjar baru Menikah 1 Bulan

BANJAR – Penemuan jasad pria tanpa kepala di hutan Desa Paramasan Atas, Kecamatan Paramasan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, pada Rabu (16/7/2025), ternyata menguak kisah kelam yang melibatkan hubungan suami istri baru.

Korban diketahui berinisial DI (28), seorang pria yang baru sebulan menikah dengan pelaku utama pembunuhan, FT (28), yang dibantu oleh kakak kandungnya sendiri, PP (34).

Informasi terbaru diungkap oleh Kapolres Banjar, AKBP Fadli, pada Selasa (22/7/2025).

Ia menjelaskan bahwa tindakan brutal tersebut terjadi saat pasangan muda ini dalam perjalanan menuju tempat kerja mereka di tengah hutan.

Berdasarkan keterangan pihak kepolisian, motif pembunuhan berakar pada konflik emosional dan dugaan kekerasan dalam rumah tangga.

Sebelum peristiwa nahas itu, korban diketahui terlebih dahulu mengonsumsi obat-obatan terlarang. Pengaruh zat tersebut diduga memicu perilaku agresif korban terhadap istrinya.

Sepanjang perjalanan, korban disebut kerap membentak dan melontarkan kata-kata kasar, yang kemudian berujung pada tindakan kekerasan fisik.

“Puncaknya, korban memukul istrinya hingga tersungkur, lalu dibalas sang istri dengan sabetan senjata tajam yang mengenai wajah korban,” ungkap AKBP Fadli.

Menurut Fadli, tindakan FT tidak berhenti sampai di sana. Ia melanjutkan serangan dengan menebas lengan kiri suaminya hingga putus.

Dalam kondisi korban yang sudah terluka parah, datanglah PP, kakak FT, yang kemudian membantu proses mutilasi hingga kepala korban dipenggal.

“Tidak berhenti sampai di situ, FT kembali membacok lengan kiri korban hingga putus,” jelasnya.

“Kedua pelaku mengaku melakukan tindakan itu karena khawatir korban hidup kembali,” sambung Fadli.

Setelah kejadian, jenazah korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan oleh warga. Selain kehilangan kepala, tangan kiri korban juga terputus.

Temuan itu langsung dilaporkan ke pihak kepolisian, yang kemudian melakukan penyelidikan intensif di lokasi.

Tim dari Polres Banjar segera memeriksa sejumlah saksi dan mengumpulkan barang bukti.

Hasil penyelidikan mengarah pada dua tersangka yang tidak lain adalah istri dan ipar korban. Mereka ditangkap tanpa perlawanan dan mengakui semua perbuatannya.

“Di lokasi kejadian, polisi mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk tiga senjata tajam yang digunakan membunuh korban,” tambah Kapolres.

Kasus ini tidak hanya mengguncang warga Desa Paramasan, tetapi juga mengundang keprihatinan luas atas dinamika rumah tangga muda yang berubah menjadi tragedi berdarah.

Masyarakat pun berharap proses hukum dapat berjalan secara adil dan transparan.

Atas perbuatannya, FT dan PP dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, subsider Pasal 170 ayat (2) ke-3e KUHP tentang kekerasan yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.

Kisah tragis ini menjadi pengingat bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan penggunaan zat terlarang dapat berujung pada kehancuran dan kematian yang sia-sia.

Aparat berharap tragedi ini dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih terbuka dalam menyelesaikan konflik, serta menjauhkan diri dari tindakan kekerasan. []

Nur Quratul Nabila A

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Lainnya

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.