Ombudsman Dorong Transparansi Dapur Program MBG di NTT Usai Ratusan Siswa Keracunan

KUPANG – Insiden keracunan massal yang menimpa ratusan pelajar di sejumlah sekolah di Nusa Tenggara Timur (NTT) akibat konsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG) mendorong Ombudsman RI Perwakilan NTT untuk menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan program tersebut.

Kepala Perwakilan Ombudsman RI NTT, Darius Beda Daton, menegaskan bahwa salah satu langkah strategis untuk mencegah kejadian serupa adalah dengan membuka akses publik terhadap dapur pengolahan MBG.

“Kita minta adanya keterbukaan informasi terkait dapur pengolahan MBG. Bagaimana publik bisa mengakses dapur, memastikan pengolahan makanan benar-benar sehat dan aman,” ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (26/7/2025).

Ombudsman menilai bahwa pengawasan menyeluruh tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak, melainkan perlu sinergi antarinstansi dan komunitas.

Darius mendorong agar koordinator program MBG di daerah dapat menjalin kerja sama erat dengan dinas kesehatan, kecamatan, puskesmas, hingga media massa untuk memastikan keamanan pangan yang disediakan.

Darius menyayangkan peristiwa tersebut dan membuka kemungkinan adanya maladministrasi dalam pelaksanaan program MBG, khususnya pada satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) yang bertugas menyiapkan dan menyalurkan makanan ke sekolah-sekolah penerima manfaat.

“Kasus ini bisa saja mengindikasikan adanya penyimpangan prosedur pelayanan SPPG saat menyiapkan dan mendistribusikan menu MBG,” kata Darius.

Ombudsman menekankan bahwa para korban harus mendapat penanganan medis secepatnya, sementara pemerintah bertanggung jawab penuh atas dampak yang terjadi di lapangan.

Mengingat program MBG dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka pelaksanaannya wajib memenuhi standar tertinggi.

“Sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI akan terus memantau dan memberikan saran perbaikan terhadap pelaksanaan MBG,” lanjutnya.

Berdasarkan petunjuk teknis program MBG tahun anggaran 2025, SPPG diwajibkan menerapkan prosedur ketat dalam setiap tahapan pengolahan makanan.

Mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan, pengolahan, pemorsian, hingga pengemasan dan distribusi makanan harus mengacu pada standar kesehatan.

Darius menegaskan bahwa standar kebersihan pribadi petugas dapur, pengendalian kontaminasi silang, pengelolaan air, dan pemeliharaan lingkungan dapur adalah bagian yang tidak boleh diabaikan.

Ia mendorong agar SOP pengecekan higienitas dan kelayakan menu diperketat dari hulu hingga hilir, sebelum makanan sampai ke siswa.

“Salah satunya, memitigasi dengan menyusun SOP pengecekan higienitas dan kelayakan menu MBG di tingkat hulu dan hilir, sebelum dibagikan ke siswa penerima manfaat,” tegas Darius.

Selain peningkatan pengawasan dapur dan distribusi makanan, Darius menegaskan bahwa pelaksana program MBG wajib mematuhi ketentuan perundang-undangan. SPGG diminta untuk mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik serta Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 mengenai pengelolaan pengaduan pelayanan publik.

Hal ini termasuk penyediaan kanal pengaduan di tingkat SPPG dan sekolah sebagai penerima manfaat, guna memudahkan masyarakat menyampaikan laporan atau keluhan terhadap program MBG.

“Perpres tersebut menjadi dasar perlunya kanal pengaduan di tingkat SPPG dan sekolah untuk melokalisasi laporan seputar pelayanan program MBG,” kata Darius.

Sebelumnya, insiden keracunan pertama kali terjadi pada Selasa (22/7/2025) dan menimpa 111 siswa SMP Negeri 8 Kota Kupang. Jumlah korban terus bertambah hingga mencapai 130 siswa.

Kasus serupa juga dilaporkan terjadi di SD Negeri Tenau, SMA Negeri 1 Taebenu Kabupaten Kupang, serta di beberapa sekolah di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Di Sumba Barat Daya, 75 siswa dari jenjang SMA dan SMK dirawat di RS Karitas Waitabula, RSUD Reda Bolo, dan Puskesmas Radamata.

Dugaan sementara mengarah pada konsumsi menu MBG yang disediakan melalui dapur program pemerintah pusat tersebut.

Dengan insiden yang menyebar di enam sekolah, Ombudsman menilai bahwa evaluasi menyeluruh terhadap program MBG mutlak dilakukan.

Program ini pada dasarnya bertujuan mulia, yakni memenuhi kebutuhan gizi siswa, namun pelaksanaannya harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian tinggi.

Darius berharap bahwa peristiwa ini menjadi momentum perbaikan sistemik agar tidak terulang di masa mendatang. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *