Pertempuran Thailand-Kamboja Kian Memanas, 33 Orang Tewas dan Ribuan Warga Mengungsi

Evacuees eat breakfast as they take shelter in a gymnasium on the grounds of Surindra Rajabhat University in the Thai border province of Surin on July 25, 2025. More than 100,000 people have fled the bloodiest border fighting between Thailand and Cambodia in a decade, Bangkok said on July 25, as the death toll rose rises and international powers urged a halt to hostilities. (Photo by Lillian SUWANRUMPHA / AFP)

BANGKOK – Pertempuran sengit antara militer Thailand dan Kamboja terus berlanjut hingga Sabtu (26/7/2025), kendati Pemerintah Kamboja telah menyerukan gencatan senjata tanpa syarat.

Konflik bersenjata yang meletus pada Kamis (24/7/2025) tersebut telah menewaskan sedikitnya 33 orang dan memaksa lebih dari 170.000 warga dari kedua negara mengungsi dari wilayah perbatasan.

Konflik kali ini tercatat sebagai yang paling mematikan dalam lebih dari satu dekade terakhir, sejak pertempuran besar antara kedua negara pada 2008 hingga 2011.

Sengketa perbatasan yang belum terselesaikan telah berkembang menjadi konfrontasi bersenjata terbuka yang melibatkan jet tempur, artileri berat, tank, hingga infanteri darat.

Menurut laporan resmi Kementerian Pertahanan Kamboja, sebanyak 13 orang tewas di pihak mereka, terdiri atas delapan warga sipil dan lima prajurit.

Sementara itu, 71 orang lainnya dilaporkan luka-luka akibat serangan militer Thailand.

Di pihak Thailand, militer melaporkan total korban jiwa mencapai 20 orang, terdiri atas 14 warga sipil dan enam tentara.

Sebagian besar korban sipil berasal dari provinsi-provinsi yang berbatasan langsung dengan Kamboja, seperti Trat dan Sisaket.

Bentrokan terbaru dilaporkan pecah pada Sabtu pukul 05.00 waktu setempat. Kamboja menuduh Thailand meluncurkan sedikitnya lima peluru artileri ke Provinsi Pursat.

Sementara sejumlah wartawan AFP di kota Samraong, Kamboja, mengaku mendengar dentuman senjata berat di dekat perbatasan.

Seorang warga Thailand di Provinsi Sisaket, yang mengungsi ke bunker perlindungan, juga melaporkan suara tembakan yang intens.

“Saya hanya ingin ini berakhir secepatnya,” ujar Sutian Phiewchan, seorang warga Thailand, kepada AFP.

Akibat eskalasi konflik tersebut, Pemerintah Thailand telah mengevakuasi lebih dari 138.000 orang dari wilayah perbatasan, sementara otoritas Kamboja menyebut sekitar 35.000 warganya mengungsi dari daerah konflik.

Kamboja mendesak agar gencatan senjata segera diberlakukan. Seruan ini disampaikan oleh Duta Besar Kamboja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Chhea Keo, dalam konferensi pers usai pertemuan darurat tertutup Dewan Keamanan PBB di New York, Jumat lalu.

Namun, Menteri Luar Negeri Thailand, Maris Sangiampongsa, menegaskan bahwa kesediaan Thailand untuk berdialog bergantung pada kesungguhan Kamboja dalam menghentikan pelanggaran kedaulatan.

“Kamboja harus berhenti melanggar wilayah kami dan kembali ke jalur dialog bilateral,” tegas Maris dalam pernyataan resminya, Sabtu.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Nikorndej Balankura, juga menambahkan bahwa Bangkok tetap terbuka terhadap perundingan, termasuk kemungkinan difasilitasi oleh Malaysia sebagai ketua ASEAN saat ini.

Saling tuduh antarkedua negara pun semakin memperkeruh suasana. Thailand menuding pasukan Kamboja sengaja menyasar infrastruktur sipil, seperti rumah sakit dan stasiun pengisian bahan bakar, yang terkena dampak serangan roket.

Sebaliknya, Kamboja menuduh Thailand menggunakan bom curah, yang dilarang secara internasional dalam konflik bersenjata.

Situasi semakin kompleks dengan keterlibatan tokoh politik senior. Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, mengunjungi kamp pengungsian pada Sabtu untuk bertemu langsung dengan korban terdampak.

Ia menegaskan bahwa stabilisasi keamanan harus menjadi prioritas utama sebelum kembali ke meja perundingan.

Dalam kesempatan itu, Thaksin juga mengkritik mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, dengan menyebutnya sebagai “sosok yang gagal merefleksikan kesalahan masa lalu.”

“Dia harus merenungkan perilakunya. Sikap keras kepala hanya akan memperburuk penderitaan rakyat,” kata Thaksin.

Sebagai informasi, konflik Thailand-Kamboja telah berlangsung sejak lama dan memuncak pada 2008–2011 akibat perebutan wilayah sekitar kompleks candi Preah Vihear.

Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) telah mengeluarkan putusan pada 2013 yang menegaskan status wilayah tersebut, ketegangan masih terus mengemuka hingga hari ini.

Ketegangan kembali memuncak pada Mei 2025, setelah seorang prajurit Kamboja dilaporkan tewas dalam insiden perbatasan, yang kemudian menjadi titik awal eskalasi militer.

Situasi kini menjadi ujian besar bagi ASEAN dan komunitas internasional untuk mendorong kedua negara segera menghentikan konflik dan kembali ke jalur diplomasi. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *