Pelaku Usaha Minta Regulasi Sound Horeg Tak Matikan Mata Pencaharian

MALANG — Kalangan pelaku usaha sound system tradisional atau sound horeg menyatakan kesiapan mereka untuk mematuhi aturan yang tengah disusun oleh pemerintah, dengan satu harapan: kegiatan tersebut tetap diizinkan berlangsung sebagai mata pencaharian utama masyarakat.

Pernyataan itu disampaikan Muzahidin, pemilik Brewog Audio, dalam acara sound horeg yang digelar di Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Senin (28/7/2025).

Ia menegaskan bahwa larangan total terhadap aktivitas sound horeg akan sangat berdampak pada penghidupan banyak pelaku usaha.

“Kalau pengusaha seperti saya pada prinsipnya siap mengikuti aturan. Yang penting tidak dihilangkan. Sebab ini mata pencaharian kami,” ujarnya.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur diketahui tengah menyusun regulasi untuk mengatur praktik sound horeg, seiring meningkatnya polemik terkait polusi suara dan gangguan ketertiban umum.

Muzahidin berharap penyusunan aturan ini melibatkan pelaku usaha dan masyarakat, agar kebijakan yang dihasilkan adil dan tidak merugikan satu pihak saja.

Salah satu poin yang disorot adalah soal ambang batas suara sebesar 85 desibel. Menurut Muzahidin, hal itu bukan menjadi masalah, asalkan penerapannya tetap mempertimbangkan aspek sosial budaya dan permintaan warga.

“Kalau suara sound kami diatur tidak boleh lebih dari 85 desibel kita siap saja. Sebab, selama ini kita yang menggunakan suara di atas 85 desibel itu atas dasar permintaan masyarakat saja, bukan kemauan kita,” tuturnya.

Ia juga menyinggung soal keberadaan penari erotis yang kerap diasosiasikan dengan sound horeg.

Menurutnya, penampilan penari tersebut bukan bagian dari layanan pengusaha, melainkan inisiatif warga setempat.

“Tapi yang paling utama bagi masyarakat sebenarnya ya sound-nya ini. Penari yang mengiringi itu hanya pemanis yang disediakan oleh masyarakat sendiri,” jelasnya.

Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu, David Stefan, menyampaikan pandangan serupa. Ia menilai kehadiran regulasi memang diperlukan, namun harus disusun dengan pertimbangan yang seimbang dan tidak diskriminatif.

“Tidak berat sebelah atau merugikan satu sama lain. Apalagi merugikan kami sebagai pengusaha sound system,” katanya.

David, yang juga pemilik Blizzard Audio, meminta agar pemerintah tidak hanya menyusun regulasi di atas meja, tetapi juga melakukan observasi langsung ke lapangan agar lebih memahami konteks pelaksanaan sound horeg di masyarakat.

“Agar keputusan final yang dikeluarkan nanti bisa berimbang,” tambahnya.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak menyampaikan bahwa pihaknya telah membentuk tim khusus untuk merumuskan kebijakan mengenai praktik sound horeg.

Sementara itu, Kabupaten Kediri telah lebih dulu mengeluarkan regulasi yang mengatur perizinan, batas maksimal penggunaan subwoofer, dan volume suara. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *