Warga Iran Menjalani Hidup dalam Bayang Pemadaman Listrik dan Air

TEHERAN — Kekeringan panjang, defisit listrik kronis, dan suhu udara yang memecahkan rekor mengubah wajah kehidupan di Iran. Krisis berlapis ini memaksa jutaan orang menata ulang ritme harian mereka.

Di ibu kota, Sara, 44 tahun, memulai hari bukan dengan memeriksa pesan di ponsel, melainkan jadwal pemadaman listrik.

Meskipun sudah hafal pola mingguan, ia tetap khawatir akan perubahan mendadak.

“Tanpa listrik, tidak ada AC yang dapat menahan panas,” ujarnya, seperti dikutip Al Jazeera. Air bersih pun menjadi barang yang harus diantisipasi.

Setiap kali ada aliran, Sara terbiasa mengisi ember dan wadah cadangan.

Musim panas ini, Organisasi Meteorologi Iran mencatat suhu di beberapa kota mencapai titik tertinggi, sementara curah hujan anjlok hingga 40 persen di bawah rata-rata jangka panjang.

Fatemeh, 26 tahun, mahasiswa pendatang di Teheran, mengenang pengalaman terjebak di apartemen bersuhu 40°C tanpa pasokan air.

“Hal pertama yang saya lakukan adalah berhenti bergerak sama sekali agar suhu tubuh tidak naik,” katanya.

Dengan hanya dua botol air dan sepotong es, ia harus berhemat bahkan untuk mandi.

Kini, ia menyiapkan berbagai strategi: menyimpan air di banyak wadah, menaruh balok es di pendingin evaporatif, dan membasahi handuk untuk menurunkan suhu tubuh.

“Saat air dan listrik mati bersamaan, rasanya seperti demam,” tambahnya.

Bagi Shahram, 38 tahun, manajer perusahaan perangkat lunak, pemadaman listrik berarti kerugian waktu dan produktivitas.

“Pemadaman biasanya terjadi antara pukul 12.00 dan 17.00. Kalau mati jam 14.00 atau 15.00, jam kerja efektif sudah habis,” jelasnya.

Usaha kecil pun merugi; ada pemilik toko kue yang terpaksa membuang produk karena kulkas mati.

Di balik kisah warga, ada persoalan struktural. Listrik Iran masih didominasi pembangkit berbahan bakar fosil (85%), dengan tenaga air hanya 13% dan sisanya energi terbarukan serta nuklir.

Kekeringan mengurangi pasokan air untuk pembangkit, sementara permintaan AC melonjak.

Mohammad Arshadi, peneliti tata kelola air, menyebut krisis ini buah dari gabungan infrastruktur rapuh, minim investasi, dan pola konsumsi tidak berkelanjutan.

“Ini bukan hanya masalah alam, tapi juga pilihan manusia,” tegasnya.

Kini, generasi muda Iran tumbuh dengan kelangkaan sebagai norma baru. Musim dingin mendatang diperkirakan tetap diselimuti defisit energi dan air, memperpanjang ketidakpastian yang sudah membentuk pola hidup masyarakat. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *