Maxim Disegel Lagi di Samarinda, Tarif Jadi Pemicu

SAMARINDA – Polemik tarif angkutan penumpang roda empat kembali memanas setelah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi Kalimantan Timur menutup kembali kantor operasional aplikasi transportasi Maxim di Samarinda, Jumat (15/8/2025) siang.
Penyegelan dilakukan di kantor yang berlokasi di Perumahan Citra Land, Jalan DI Pandjaitan, Kecamatan Sungai Pinang.
Satpol PP menilai Maxim melanggar Surat Keputusan (SK) Gubernur Kaltim Nomor 131/6.73/2023 yang mengatur tarif minimal untuk layanan angkutan penumpang roda empat.
Kepala Bidang Trantibum Satpol PP Kaltim, Edwin Nofriansyah, menegaskan langkah ini bukan yang pertama.
“Penutupan akan tetap dilakukan sampai mereka menaikkan tarif sesuai aturan, khususnya untuk layanan roda empat angkutan penumpang,” ujarnya.
Meski kantor operasional disegel, Edwin memastikan layanan ojek online roda dua dan kargo roda empat tetap diizinkan beroperasi.
“Kami minta mitra driver berkoordinasi langsung dengan pihak Maxim supaya layanan tetap berjalan dan tidak merugikan mitra,” katanya.
Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dinas Perhubungan Kaltim, Heru Santosa, menambahkan bahwa kebijakan ini semata untuk memastikan aturan tarif berjalan sebagaimana mestinya.
“Kami berharap operasional roda dua dan kargo tidak terganggu,” ujarnya.
Usai penutupan di Samarinda, Satpol PP Kaltim melanjutkan penertiban ke Balikpapan untuk menutup kantor Maxim di kota tersebut, mengikuti kesepakatan dengan asosiasi transportasi dan penyedia aplikasi.
Dari pihak perusahaan, Maxim menegaskan telah menerapkan tarif sesuai SK Gubernur selama tiga pekan terakhir.
Government Relation Specialist Maxim Indonesia, Muhammad Rafi Assagaf, menyebut kenaikan tarif minimum dari Rp 13.600 menjadi Rp 18.800 justru memicu penurunan jumlah pesanan.
“Terjadi penurunan signifikan dalam jumlah order, yang pada akhirnya menurunkan penghasilan harian mitra kami,” ujarnya.
Menurut Rafi, penurunan pesanan mencapai 35 persen, sedangkan pendapatan mitra turun hingga 45 persen.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa regulasi tarif yang berlaku saat ini belum sepenuhnya menjawab realitas di lapangan,” sambungnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan, memunculkan perdebatan antara pentingnya penegakan regulasi dan kebutuhan menjaga keberlanjutan pendapatan para pelaku transportasi online di daerah. []
Nur Quratul Nabila A