Nepal Akhiri Blokir Medsos Usai Demo Berdarah

KATHMANDU – Pemerintah Nepal akhirnya mencabut larangan terhadap sejumlah platform media sosial setelah menghadapi tekanan publik yang meluas dan kericuhan dalam aksi protes yang menewaskan sedikitnya 19 orang. Keputusan itu diambil dalam rapat kabinet darurat pada Selasa (09/09/2025), sebagaimana diumumkan Menteri Komunikasi Nepal, Prithvi Subba Gurung.
Sebelumnya, sejak Jumat (05/09/2025), pemerintah memblokir 26 aplikasi yang tidak terdaftar, termasuk Facebook, YouTube, dan X. Langkah ini memicu kemarahan, terutama dari kalangan muda yang selama ini bergantung pada platform digital untuk berkomunikasi, bekerja, hingga menjalankan usaha.
Protes besar-besaran pun pecah di Kathmandu dan sejumlah kota lain. Ribuan orang turun ke jalan, menuntut pemerintah membatalkan kebijakan yang dianggap membungkam suara rakyat. Aparat berusaha membubarkan massa dengan peluru karet, gas air mata, meriam air, dan pentungan. Namun, laporan dari Amnesty International menyebut dugaan penggunaan peluru tajam, yang memperparah situasi.
Media lokal mencatat 17 orang tewas di ibu kota Kathmandu dan dua lainnya meninggal di distrik Sunsari, Nepal bagian timur. Puluhan lainnya mengalami luka-luka. Amnesty mendesak pemerintah untuk menyelidiki secara transparan tindakan aparat yang diduga berlebihan.
Gelombang protes ini tidak hanya dipicu oleh pemblokiran media sosial, melainkan juga ketidakpuasan mendalam terhadap kondisi ekonomi. Data Bank Dunia menunjukkan tingkat pengangguran Nepal mencapai 10 persen. Di tengah kesulitan hidup, berbagai video yang viral di TikTok memperlihatkan kontras tajam antara kehidupan rakyat biasa dengan gaya hidup mewah anak-anak pejabat, yang memamerkan barang mahal dan liburan ke luar negeri.
Blokir media sosial juga menimbulkan kerugian ekonomi signifikan. Banyak warga Nepal, khususnya pelaku usaha kecil, sangat mengandalkan platform seperti Instagram atau Facebook untuk berjualan dan memasarkan produk.
“Pemutusan akses membuat ribuan bisnis online terhenti total,” kata seorang pengusaha muda di Kathmandu yang menolak disebutkan namanya.
Dengan mencabut larangan tersebut, pemerintah berharap situasi kembali kondusif. Namun, keputusan ini belum sepenuhnya meredam kritik terhadap kebijakan represif yang dinilai terburu-buru. Para pengunjuk rasa menegaskan aksi mereka tidak hanya soal akses media sosial, tetapi juga menyangkut tuntutan keadilan sosial dan transparansi pemerintahan.
Tragedi 9 September 2025 kini menjadi pengingat bagaimana kebijakan digital bisa berdampak luas pada stabilitas sosial. Di negara berpenduduk sekitar 30 juta jiwa itu, media sosial bukan sekadar hiburan, melainkan sarana vital untuk informasi, komunikasi, hingga penghidupan sehari-hari. []
Diyan Febriana Citra.