80 Ribu Polisi Dikerahkan Redam Aksi Massa di Prancis

PARIS – Prancis kembali diguncang gelombang demonstrasi besar yang mencerminkan ketidakpuasan mendalam rakyat terhadap situasi politik dan kebijakan ekonomi pemerintah. Gerakan yang menyebut dirinya “Blokir Semuanya” (Bloquons tout) turun ke jalan pada Rabu, 10 September 2025, dengan strategi menutup akses vital, mulai dari jalan raya, bandara, hingga stasiun kereta api.
Aksi ini digerakkan oleh kelompok akar rumput yang menilai pemerintah tidak lagi mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Isu pemicu terbesarnya adalah rencana pemotongan anggaran di tengah ketidakstabilan politik, setelah parlemen menjatuhkan perdana menteri sebelumnya melalui mosi tidak percaya.
Bagi banyak kalangan, protes ini mengingatkan pada gerakan “Rompi Kuning” yang pecah pada 2018. Bedanya, jika dulu massa marah karena kenaikan harga bahan bakar, kini keresahan melebar ke soal kepercayaan terhadap institusi politik yang dianggap semakin jauh dari rakyat.
Pemerintah menanggapi ancaman ini dengan langkah cepat. Sebanyak 80.000 polisi dikerahkan di seluruh wilayah Prancis, termasuk 6.000 personel di Paris. Kehadiran aparat dalam jumlah masif ini menunjukkan bahwa negara mengantisipasi protes yang dapat melumpuhkan aktivitas sehari-hari.
Menteri Dalam Negeri, Bruno Retailleau, menegaskan pemerintah siap menghadapi risiko perluasan aksi. “Kita berisiko mengalami mobilisasi yang akan mengarah pada aksi-aksi di seluruh negeri,” ujarnya dalam pernyataan resmi.
Di sejumlah kota besar, dampak langsung aksi sudah terasa. Gangguan transportasi dilaporkan terjadi di Bordeaux, Toulouse, Marseille, hingga Lyon. Beberapa operator transportasi bahkan memperingatkan keterlambatan perjalanan akibat blokade. Media lokal menyebut jumlah massa yang terlibat bisa mencapai 100.000 orang.
Protes ini semakin menekan Presiden Emmanuel Macron yang baru saja menunjuk Sebastien Lecornu sebagai perdana menteri baru. Lecornu menjadi kepala pemerintahan kelima dalam dua tahun terakhir, sebuah bukti rapuhnya stabilitas politik di Prancis.
Para analis menilai, keberadaan gerakan “Blokir Semuanya” merupakan sinyal bahwa ketidakpuasan publik tidak bisa lagi dipandang sebagai riak kecil. Sebaliknya, ia dapat menjadi gelombang besar yang mengancam legitimasi pemerintahan Macron, terutama bila kebijakan penghematan tetap dipaksakan.
Dengan rakyat yang kian frustrasi, jalanan Prancis kini kembali menjadi arena pertarungan politik. []
Diyan Febriana Citra.