Prabowo Jadi Pembicara Ketiga Sidang Umum PBB 2025

JAKARTA – Indonesia akan kembali tampil di panggung tertinggi diplomasi dunia. Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan menjadi pembicara ketiga dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 yang berlangsung di New York pada 23 September 2025. Posisi ini dinilai strategis karena jarang sekali ditempati pemimpin negara nonblok, sehingga menambah bobot diplomasi Indonesia di mata internasional.
Dalam tradisi panjang sidang umum PBB, Brasil selalu menjadi negara pertama yang menyampaikan pidato, disusul oleh Presiden Amerika Serikat di urutan kedua. Tahun ini, giliran Indonesia yang menempati podium ketiga. Situasi tersebut membuka kesempatan besar bagi Prabowo untuk menyuarakan kepentingan nasional sekaligus menawarkan visi mengenai perdamaian dan pembangunan global.
“Diberikan kesempatan sebagai pembicara ketiga atau berdasarkan hasil undian sebetulnya menjadi pembicara pertama karena secara default pembicara pertama selalu Brasil dan kedua adalah presiden Amerika Serikat,” ujar Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemenlu, Tri Tharyat, Kamis (11/09/2025).
Sidang Majelis Umum tahun ini mengangkat tema “Better Together: 80 Years and More for Peace, Development and Human Rights”. Tema tersebut dipilih untuk merefleksikan perjalanan delapan dekade PBB sekaligus merumuskan langkah menghadapi tantangan global di bidang perdamaian, pembangunan berkelanjutan, dan pemajuan hak asasi manusia. Tidak kurang dari 193 kepala negara dipastikan hadir dan akan memberikan pandangan nasional mereka di hadapan dunia.
Kehadiran Prabowo menjadi catatan penting karena menandai kembalinya seorang Presiden Indonesia berpidato langsung di forum tersebut setelah absen selama satu dekade. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pidato Indonesia di Sidang Umum PBB selalu diwakilkan kepada Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi. Kehadiran kepala negara kali ini diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu pemimpin dunia yang aktif dalam isu perdamaian internasional.
Bagi Indonesia, kesempatan berbicara di awal sidang memberikan panggung untuk menyuarakan aspirasi dari negara berkembang sekaligus memperkuat peran sebagai jembatan antara negara maju dan negara berkembang. Posisi ini juga menjadi momentum bagi Prabowo untuk menegaskan komitmen Indonesia terhadap kerja sama multilateral, pembangunan berkelanjutan, serta diplomasi perdamaian yang selama ini menjadi ciri khas politik luar negeri bebas-aktif.
Dengan demikian, pidato Prabowo bukan hanya sekadar agenda seremonial, tetapi juga simbol kembalinya Indonesia dalam dinamika diplomasi global dengan peran yang lebih menonjol. []
Diyan Febriana Citra.