DPRD Kukar Desak Sanksi Tegas dan Relokasi Santri Korban Kekerasan Seksual

ADVERTORIAL – Kasus dugaan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap santri di salah satu lembaga pendidikan berbasis asrama di Kukar kembali menjadi sorotan tajam. Tragedi yang mencoreng dunia pendidikan ini memunculkan keprihatinan mendalam, terutama karena para korban yang masih berusia belia harus menanggung trauma berat akibat perbuatan tak bermoral yang dilakukan di lingkungan tempat mereka menimba ilmu.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar pada Selasa (19/08/2025), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara (Kukar) dari Komisi IV, Akbar Haka, menilai kasus tersebut merupakan kegagalan serius negara dan lembaga pendidikan dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak. Ia mengungkapkan bahwa dirinya bersama tim pernah turun langsung melihat kondisi para korban. “Kalau pendidikan tidak bisa memberikan rasa aman, maka itu bukanlah pendidikan. Bayangkan, orang tua menitipkan anak untuk belajar agama, tapi yang terjadi malah dilecehkan. Itu membuat hati orang tua hancur,” ujarnya.

Akbar juga menyoroti adanya dugaan kelalaian sejak kasus pertama kali mencuat pada 2021. Saat itu, pelaku sempat lolos karena dianggap tidak cukup bukti dan saksi. “Empat tahun itu waktu yang panjang. Kalau satu anak saja mengalami berulang kali, bisa dibayangkan berapa banyak yang menjadi korban selama ini. Ini jelas bentuk pembiaran, dan negara kalah dalam memberikan perlindungan,” tegasnya.

Ia menekankan, tidak ada alasan bagi lembaga pendidikan yang tidak memiliki izin resmi untuk tetap beroperasi. Menurutnya, sistem yang tertutup atau dalih eksklusivitas tidak bisa dijadikan pembenaran. “Kalau ada kegiatan malam-malam tanpa izin bisa dibubarkan, kenapa lembaga pendidikan yang tidak berizin dan mengumpulkan ratusan anak bisa dibiarkan bertahun-tahun?” ucap Akbar.

Politisi muda ini pun mendorong pemerintah untuk segera menutup lembaga pendidikan tersebut dan memfasilitasi relokasi siswa ke tempat yang lebih aman. Selain menghukum pelaku, negara harus menjamin hak anak-anak untuk memperoleh pendidikan tanpa rasa takut.

Lebih jauh, Akbar menilai kasus ini harus menjadi pelajaran penting bagi seluruh pesantren dan sekolah berasrama. Ia mengusulkan pengawasan lebih ketat, sertifikasi serta tes psikologis bagi tenaga pendidik, dan penyediaan hotline pengaduan yang mudah diakses siswa. “Tidak bisa sembarangan orang mengajar tanpa ada standar yang jelas. Ini menyangkut masa depan generasi emas bangsa,” tambahnya.

Sebagai langkah pencegahan, ia mendorong pembentukan Satgas perlindungan anak yang dapat melakukan sidak mendadak dan membuka ruang aman bagi siswa. “Satgas ini bisa datang tiba-tiba, melakukan sosialisasi, sekaligus membuka ruang bagi siswa untuk menyampaikan keluhan. Bisa jadi ada korban yang selama ini tidak pernah terungkap,” tandasnya.[]

Penulis: Suryono | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *