Ketegangan Rusia-NATO Memuncak, Medvedev Lontarkan Peringatan

JAKARTA – Hubungan Rusia dan NATO kembali berada di titik panas setelah pernyataan keras Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev, pada Senin (15/09/2025). Melalui unggahan di akun Telegram pribadinya, ia menanggapi wacana pembentukan zona larangan terbang di Ukraina yang kembali mencuat, serta manuver terbaru NATO di Eropa Timur.
Medvedev menilai gagasan tersebut sebagai ancaman serius terhadap stabilitas global. “Implementasi ide provokatif yang diimpikan oleh Kyiv dan orang-orang bodoh lainnya mengenai pembuatan ‘zona larangan terbang’ di atas Ukraina akan berarti satu hal, yaitu perang NATO dengan Rusia jika negara-negara NATO diizinkan untuk menembak jatuh drone Rusia,” tulisnya. Ia menambahkan, “Segala sesuatu harus disebut dengan nama yang benar!”
Tak hanya itu, Medvedev turut menyindir Menteri Pertahanan Estonia, Hanno Pevkur, yang sehari sebelumnya mengumumkan komitmen bantuan militer senilai US$117 juta atau sekitar Rp1,9 triliun bagi Ukraina tahun depan. “Makin kecil negaranya, makin sombong dan bodoh para petinggi mereka,” ujarnya.
Ukraina sendiri sejak awal invasi Rusia pada 2022 telah mendorong pembentukan zona larangan terbang demi melindungi wilayahnya dari serangan udara. Akan tetapi, mayoritas negara NATO menolak permintaan tersebut karena khawatir memicu konfrontasi langsung dengan Moskow. Risiko terburuk yang ditakuti ialah meningkatnya peluang perang nuklir. Sebagai gantinya, sekutu Kyiv memilih untuk memperkuat kemampuan pertahanan Ukraina melalui pasokan rudal, sistem pertahanan udara, hingga pesawat tempur.
Ketegangan kian meningkat setelah NATO resmi mengumumkan operasi militer bertajuk Eastern Sentry pada Jumat lalu. Operasi ini berfungsi sebagai bentuk penguatan perbatasan timur aliansi setelah insiden drone Rusia menembus wilayah Polandia.
Dalam kerangka operasi tersebut, Denmark akan mengirimkan dua jet tempur F-16 beserta sebuah fregat anti-perang udara. Prancis menambahkan tiga jet Rafale, sementara Jerman ikut mengerahkan empat Eurofighter. Kepala NATO, Mark Rutte, menegaskan penguatan ini bersifat defensif.
“Inisiatif ini akan memperjelas bahwa, sebagai aliansi defensif, kami selalu siap untuk mempertahankan diri,” katanya. Ia menekankan pula bahwa insiden drone Rusia yang masuk ke Polandia “bukanlah insiden yang terisolasi.”
Pernyataan Medvedev dan respons tegas NATO memperlihatkan dinamika geopolitik yang semakin sulit ditebak. Di satu sisi, Rusia ingin menunjukkan garis merah terhadap langkah-langkah NATO. Di sisi lain, aliansi Barat berusaha mengirimkan pesan soliditas kepada anggotanya bahwa keamanan kolektif tetap menjadi prioritas.
Situasi ini menggambarkan betapa rapuhnya keseimbangan keamanan internasional. Setiap kebijakan yang diambil, baik oleh Moskow maupun NATO, berpotensi memicu reaksi berantai dengan dampak global. Meski kedua pihak menyebut diri bertindak defensif, ancaman eskalasi tetap menggantung di atas kawasan Eropa Timur. []
Diyan Febriana Citra.