Indra Utoyo dan Rosalina Wahyuni Dipanggil Penyidik KPK

JAKARTA – Penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di Bank Rakyat Indonesia (BRI) terus berlanjut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (23/09/2025) kembali menjadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak penting, termasuk Indra Utoyo, mantan Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI.
Meski statusnya dipanggil sebagai saksi dalam pemeriksaan kali ini, Indra sejatinya sudah ditetapkan sebagai salah satu tersangka. “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” ungkap Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangannya.
Selain Indra, penyidik juga memanggil Rosalina Wahyuni, seorang karyawan swasta, untuk memberikan keterangan tambahan. Namun, hingga kini KPK belum merinci materi pemeriksaan yang menjadi fokus penyidik terhadap keduanya.
Kasus ini mencuat sejak Juli lalu, KPK mengumumkan penetapan lima orang sebagai tersangka, termasuk Indra. Mereka adalah Catur Budi Harto (mantan Wakil Direktur Utama BRI), Dedi Sunardi (eks SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI), Elvizar (Direktur PT Pasific Cipta Solusi), serta Rudi Suprayudi Kartadidjadja dari PT Bringin Inti Teknologi.
Menurut Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu, penyidik telah menemukan cukup bukti awal adanya praktik menyimpang dalam proyek pengadaan EDC Android.
“Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan EDC Android yang dilakukan secara melawan hukum,” jelas Asep.
Skandal ini ditengarai bermula pada 2019. Saat itu, Elvizar beberapa kali bertemu dengan Indra Utoyo dan Catur Budi. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan agar perusahaan milik Elvizar ditunjuk sebagai vendor pengadaan EDC dengan menggandeng PT Bringin Inti Teknologi. Padahal, sesuai aturan, mekanisme pengadaan harus dilakukan melalui lelang terbuka untuk memberi kesempatan vendor lain ikut bersaing.
“Untuk pengujian ini pun juga tidak dilakukan secara luas, tidak diinformasikan secara luas. Sehingga vendor-vendor lain, merek-merek lain itu tidak bisa mengikutinya,” tegas Asep.
Akibat mekanisme yang dianggap menyalahi aturan, sejumlah keuntungan pribadi diduga mengalir ke pihak-pihak tertentu. Catur Budi menerima uang Rp 525 juta, sepeda, dan dua ekor kuda. Dedi Sunardi mendapat sepeda Cannondale senilai Rp 60 juta. Sedangkan Rudi Suprayudi disebut menerima dana hampir Rp 20 miliar sepanjang 2020–2024.
KPK memperkirakan kerugian negara akibat praktik tersebut mencapai Rp 744,5 miliar. “Kerugian keuangan negara yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp 744.540.374.314,” ujar Asep.
Pemeriksaan terbaru ini menjadi langkah lanjutan KPK untuk memperkuat bukti serta menuntaskan perkara besar yang menyoroti tata kelola pengadaan di bank milik negara. Publik menaruh perhatian besar, sebab kasus ini tak hanya menyeret mantan pejabat penting, tetapi juga menimbulkan kerugian fantastis bagi negara. []
Diyan Febriana Citra.