Rencana Damai Gaza Terganjal Sikap Keras Israel

JAKARTA – Pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Senin (29/09/2025), diperkirakan akan menjadi ajang tarik ulur keras soal masa depan Gaza. Washington mendorong rencana perdamaian 21 poin, sementara Tel Aviv masih menunjukkan sikap keras kepala.
Trump sebelumnya mengumumkan bahwa kesepakatan besar hampir tercapai. Dalam unggahannya di Truth Social, ia menulis, “SEMUA PIHAK SUDAH SIAP UNTUK SESUATU YANG ISTIMEWA, PERTAMA KALI TERJADI. KITA AKAN MEWUJUDKANNYA!!!” Pernyataan itu menegaskan optimismenya, meski sinyal berbeda justru datang dari Netanyahu.
Berbicara di Majelis Umum PBB, Netanyahu menegaskan tekad Israel untuk menyelesaikan pekerjaan melawan Hamas. Ia juga bersumpah menggagalkan rencana pembentukan negara Palestina, yang belakangan memperoleh pengakuan sejumlah negara Barat. Operasi militer Israel di Gaza terus berlanjut, membuat ratusan ribu warga sipil terpaksa mengungsi.
Kunjungan ini merupakan kali keempat Netanyahu ke Gedung Putih sejak Trump kembali menjabat pada Januari lalu. Meski dikenal dekat, relasi keduanya mulai tegang. Trump berkali-kali memperingatkan Israel agar tidak melakukan aneksasi Tepi Barat, bahkan menentang serangan Israel terhadap tokoh Hamas di Qatar, sekutu penting Washington dan mediator utama dalam gencatan senjata Gaza.
Keluarga sandera Israel mendesak Trump untuk tidak mundur dari rencana damai. “Kami dengan hormat meminta Anda untuk berdiri tegas melawan segala upaya sabotase terhadap kesepakatan yang telah Anda usulkan. Taruhannya terlalu besar dan keluarga kami sudah menunggu terlalu lama untuk digagalkan,” tulis Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang dalam surat terbuka yang dikutip AFP.
Natan Sachs, peneliti senior di Middle East Institute, menilai keberhasilan pertemuan ini akan sangat ditentukan oleh keberanian Trump menekan Netanyahu.
“Netanyahu jelas lebih memilih melanjutkan perang dan menghancurkan Hamas, tapi bukan berarti mustahil bagi Trump untuk meyakinkannya. Itu membutuhkan tekanan kuat dan strategi yang berkesinambungan,” ujarnya.
Rencana AS, menurut bocoran, mencakup gencatan senjata, pembebasan sandera, hingga pelucutan Hamas. Nama mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair bahkan muncul sebagai calon pemimpin otoritas transisi internasional untuk Gaza, yang kelak akan diserahkan kepada Otoritas Palestina (PA) yang direformasi. Namun, Netanyahu terang-terangan menolak gagasan itu.
Dalam wawancara dengan Fox News, Netanyahu menyindir gagasan PA yang direformasi. “Kemungkinan Otoritas Palestina benar-benar berubah total, menerima negara Yahudi, dan mengajarkan anak-anaknya untuk hidup berdampingan yah, semoga berhasil.”
Penolakan tidak berhenti di situ. Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich menegaskan serangkaian garis merah, termasuk kebebasan penuh militer Israel beroperasi di seluruh Gaza. Ia juga menolak keterlibatan PA maupun Qatar, sembari menegaskan tidak boleh ada wacana tentang negara Palestina.
Smotrich bahkan menyebut momentum ini sebagai kesempatan bersejarah untuk memperkuat klaim Israel atas Yudea dan Samaria. Dengan kata lain, pertarungan politik di Gedung Putih kali ini bukan hanya soal Gaza, melainkan juga arah masa depan kawasan. []
Diyan Febriana Citra.