Korban Truk Tambang di Bogor: “Kalau Meninggal, Biayanya Sedikit”

BOGOR – Cerita memilukan datang dari seorang korban kecelakaan truk tambang di Rumpin, Kabupaten Bogor. Devi, yang kini harus menggunakan kursi roda, mengungkapkan dugaan praktik kejam sebagian sopir truk tambang yang disebut lebih memilih “membiarkan korban meninggal” daripada menolong, demi menekan biaya santunan.
Pengakuan tersebut disampaikan Devi saat bertemu Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pada Sabtu (04/10/2025). Perempuan muda itu menceritakan kembali insiden yang dialaminya bersama seorang teman pada 19 Agustus 2020, ketika mereka hendak masuk ke sebuah SPBU sepulang sekolah.
“Awalnya kan cuma keserempet. Tapi bemper udah kena pinggang. Udah kerasa patah,” ujar Devi lirih.
Temannya yang mengemudikan motor, menurut Devi, panik dan melompat, meninggalkannya di atas kendaraan yang kemudian terjatuh. Dari situ, Devi mengaku melihat langsung bagaimana sopir truk justru melaju tanpa peduli. “Si motor jatuh lah ke bawah. Si supir karena udah tahu jatuh, jadi dibablasin. Kalau meninggal kan itu biayanya kayak sedikit,” ucapnya.
Lebih jauh, Devi menegaskan praktik seperti itu bukan kasus tunggal, melainkan sudah dianggap lumrah di kawasan pertambangan Rumpin. “Biasanya pertambangan itu kayak gitu, Pak. Kalau supir nabrak orang, kalau meninggal, dia biayanya sedikit. Tapi kalau misal selamat kayak Devi, itu berkepanjangan. Jadi dia rugi,” tuturnya.
Pernyataan tersebut membuat Gubernur Dedi Mulyadi terkejut. Ia menanyakan kembali soal logika di balik perilaku tersebut, yang menurut Devi sudah menjadi “tradisi gelap” di kalangan sebagian sopir.
Kisah ini kian menyorotkan perhatian pada konflik panjang antara warga dengan aktivitas truk tambang di kawasan Parung Panjang, Rumpin, hingga Cigudeg. Selain kecelakaan lalu lintas, persoalan lingkungan, polusi, hingga kerusakan jalan telah lama dikeluhkan masyarakat.
Menanggapi keresahan itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil langkah tegas dengan menghentikan sementara seluruh kegiatan pertambangan sejak 26 September 2025. Keputusan tertuang dalam surat bernomor 7920/ES.09/PEREK yang ditandatangani langsung oleh Gubernur.
Alasan penghentian aktivitas tambang tidak hanya karena kecelakaan yang terus berulang, tetapi juga menyangkut ketertiban umum, kemacetan, hingga pelanggaran tata kelola rantai pasok pertambangan. “Dari 2019 sampai 2024 ada 195 orang meninggal di jalanan karena terlindas truk, tersenggol, bertabrakan, ada 104 luka berat. Pertanyaannya adalah, ke mana Anda semua ketika banyak anak-anak yang kehilangan bapaknya?” tegas Dedi dalam sebuah video resmi.
Kebijakan penghentian sementara memang menimbulkan penolakan dari kalangan penambang dan sopir, namun pemerintah daerah menilai langkah itu perlu untuk memberi ruang evaluasi.
Pengakuan Devi seakan menjadi pengingat keras bahwa keselamatan warga tidak boleh lagi dikorbankan atas nama keuntungan industri. Tragedi yang ia alami mencerminkan urgensi penataan ulang sektor pertambangan, agar kasus serupa tak terus memakan korban. []
Siti Sholehah.