Ketagihan Judi Online, Pelajar SMP di DIY Berutang Rp 4 Juta

KULON PROGO — Kasus mengejutkan datang dari dunia pendidikan di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Seorang pelajar SMP diketahui terjerat praktik judi online (judol) hingga menanggung utang di sejumlah aplikasi pinjaman online (pinjol). Fenomena ini menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kulon Progo.

Sekretaris Disdikpora Kulon Progo, Nur Hadiyanto, menyebutkan kasus ini merupakan yang pertama kali ditemukan di wilayah tersebut. “Baru kali ini ada pelajar di Kulon Progo terjerat judi dan pinjol,” ujar Nur Hadiyanto, Jumat (24/10/2025).

Menurutnya, perilaku berisiko itu bermula dari kebiasaan bermain game online. Awalnya, permainan tersebut hanya sekadar hiburan, namun perlahan berubah menjadi aktivitas berunsur taruhan. Dari sistem hadiah dan poin yang dapat ditukar dengan uang, pelajar itu mulai mengenal situs-situs judi online dan akhirnya kecanduan.

“Pelajar tersebut awalnya hanya bermain game online. Dari sana, ia mengenal fitur yang menyerupai taruhan dan tergoda untuk mencoba permainan berhadiah uang,” jelas Nur Hadiyanto.

Ketika kecanduan sudah mulai mendalam, pelajar itu mulai mencari cara untuk mendapatkan modal bermain. Ia meminjam uang dari teman-temannya hingga jumlahnya mencapai sekitar Rp 4 juta. Uang tersebut digunakan untuk melunasi pinjaman online yang sebelumnya diambil demi terus bermain di platform judi digital.

Kasus ini terungkap setelah pihak sekolah melapor kepada Disdikpora. Menindaklanjuti laporan itu, dinas segera berkoordinasi dengan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos-PPPA) serta Dinas Kesehatan (Dinkes). Pendekatan psikologis kini tengah disiapkan untuk memulihkan kondisi mental pelajar tersebut.

Siti Sholikhah dari Dinsos-PPPA menegaskan bahwa kasus ini menjadi peringatan penting bagi semua pihak. “Semua pihak harus bisa menciptakan situasi yang aman dan nyaman bagi anak,” ujarnya. Ia juga memastikan bahwa psikolog klinis akan mendampingi anak tersebut secara langsung di rumahnya agar pemulihan berjalan optimal.

Menurut Siti, selama ini laporan yang diterima dinas kebanyakan terkait pernikahan dini, pekerja anak, atau kekerasan rumah tangga. Namun kini, ancaman terhadap anak justru muncul dari layar ponsel di genggaman mereka sendiri.

Pihak Disdikpora menegaskan bahwa pendidikan anak tetap harus berjalan, baik melalui jalur sekolah reguler maupun program Kejar Paket B. Namun Nur Hadiyanto mengakui, kasus ini hanyalah “puncak gunung es”. Di baliknya, mungkin ada banyak pelajar lain yang mulai terjerat dunia digital berisiko tanpa pengawasan orang tua.

Peristiwa ini menjadi cermin bagi masyarakat: bahwa literasi digital anak-anak bukan hanya soal kemampuan menggunakan gawai, tetapi juga kemampuan memahami risiko di baliknya. Edukasi dan pendampingan dari keluarga, guru, serta lingkungan menjadi kunci agar anak tidak terseret ke dunia maya yang berbahaya. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *