Penindakan Gereja Tak Terdaftar Ungkap Intoleransi Baru di China
BEIJING – Gelombang penindakan terhadap umat Kristen di China kembali mencuat, menandai semakin ketatnya kebijakan pemerintah di bawah Presiden Xi Jinping terhadap kebebasan beragama. Gereja-gereja rumah yang selama ini beroperasi di luar kendali Partai Komunis China (PKC) kini menjadi sasaran utama aparat.
Hukum di China memang hanya mengakui dua lembaga keagamaan Kristen yang berada di bawah pengawasan negara, yakni Asosiasi Katolik Patriotik dan Gerakan Protestan Tiga Diri. Di luar itu, semua bentuk ibadah dianggap ilegal.
Awal Oktober ini, sekitar 30 pendeta dan jemaat dari Zion Protestant Church—salah satu gereja rumah terbesar di China—ditangkap secara serentak di tujuh provinsi. Di antara mereka, terdapat pendiri gereja, Jin “Ezra” Mingri.
“Beberapa petugas merusak kunci dan pintu, sementara yang lain memutus listrik serta menyamar sebagai teknisi sebelum masuk,” ungkap Bob Fu, pendeta sekaligus pendiri organisasi hak asasi ChinaAid yang berbasis di Amerika Serikat.
Sebagian besar dari mereka dituduh “menyebarkan konten keagamaan ilegal secara daring”. Gereja Zion memang telah memindahkan aktivitas ibadahnya ke platform online sejak 2018, dengan jemaat mencapai 10.000 orang di lebih dari 40 kota.
Kecaman internasional langsung mengalir. Komisaris Jerman untuk Kebebasan Beragama, Thomas Rachel, menyebut tindakan Beijing sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Dari Washington, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mendesak pembebasan para pendeta dan menegaskan bahwa setiap warga negara berhak beribadah tanpa ancaman.
“Penindakan ini menunjukkan bagaimana Partai Komunis China menentang umat Kristen yang menolak campur tangan Partai dalam iman mereka,” ujar Rubio.
Namun, Kementerian Luar Negeri China menolak tuduhan itu. Juru bicara Lin Jian menegaskan bahwa Beijing “mengatur urusan agama sesuai hukum” dan meminta negara lain tidak mencampuri urusan dalam negeri China.
Menurut Bob Fu, hingga kini 23 anggota Zion Church masih ditahan. Delapan di antaranya diizinkan menemui pengacara—sebuah langkah yang jarang terjadi dan diyakini merupakan dampak dari tekanan internasional.
“Partai Komunis kali ini membuat sedikit konsesi,” kata Fu. “Biasanya, tahanan seperti mereka tidak pernah diberi akses pengacara.”
Sejak Xi Jinping berkuasa pada 2012, kebijakan “Sinisasi” agama terus digencarkan—yakni penyesuaian ajaran agama dengan ideologi negara. Gereja-gereja dibongkar, salib-salib diturunkan, dan kegiatan ibadah diatur ketat. Kelompok advokasi Global Christian Relief bahkan menyebut China sebagai negara dengan tingkat penganiayaan umat Kristen tertinggi di dunia.
Mirro Ren, mantan anggota Early Rain Covenant Church yang kini tinggal di AS, mengaku razia gereja rumah meningkat drastis.
“Saya melihat banyak jemaat ditangkap satu per satu, tapi tidak pernah sebesar ini,” ujarnya. Menurut Ren, pemerintah ingin mengendalikan bukan hanya tindakan, tetapi juga keyakinan warganya. “Mereka ingin mengatur pikiranmu—itu sudah melampaui batas iman,” tambahnya.
Bagi Partai Komunis, aktivitas keagamaan di luar kendali negara dianggap ancaman ideologis. “(Xi) ingin seperti Tuhan. Jika kamu tidak tunduk sepenuhnya, kamu dianggap tidak layak hidup di masyarakat,” kata Fu.
Meski menghadapi tekanan berat, semangat jemaat tidak padam. Banyak di antara mereka tetap beribadah diam-diam dan menyiapkan rencana penerus kepemimpinan jika para pendeta ditahan.
“Pastor Jin percaya jika ia dipenjara, gereja justru akan semakin kuat,” tutur Fu optimistis.
Penindasan mungkin mengekang gerak, tetapi keyakinan—seperti yang diyakini umat Kristen di China—tak mudah dibungkam. “Sejarah,” kata Fu, “akan membuktikan bahwa penindasan terhadap iman selalu gagal.” []
Siti Sholehah.
