LP3HI Gugat Pembebasan Bersyarat Setya Novanto
JAKARTA – Polemik pembebasan bersyarat terhadap mantan terpidana kasus korupsi proyek e-KTP, Setya Novanto, kembali memanas. Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) resmi menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu (29/10/2025). Gugatan ini juga turut diajukan oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI).
Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi, menjelaskan terdapat dua alasan utama di balik gugatan itu. Pertama, ia menilai Setya Novanto tidak memenuhi syarat sebagai narapidana berkelakuan baik selama menjalani masa hukuman di Lapas Sukamiskin, Bandung. Menurutnya, sejumlah pelanggaran yang dilakukan Setya masuk dalam kategori pelanggaran berat.
“Dari data yang kami miliki, sudah beberapa kali Pak Setya melakukan pelanggaran, bahkan tergolong berat. Misalnya, sempat keluar lapas untuk ke toko bangunan, lalu ruang tahanannya diketahui memiliki fasilitas mewah. Akibatnya, dua pegawai lapas saat itu juga dikenai sanksi disiplin,” ujar Kurniawan, dikutip dari program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Kamis (30/10/2025).
Alasan kedua, lanjutnya, adalah karena Setya masih diduga terlibat dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait proyek e-KTP yang hingga kini masih disidik oleh Bareskrim Polri. “Surat perintah penyidikan sudah dua kali diterbitkan, yakni pada 2024 dan awal 2025,” ungkap Kurniawan.
Sebelum mengajukan gugatan, LP3HI sempat melayangkan surat keberatan kepada Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), namun tidak mendapat tanggapan. Akhirnya, langkah hukum ke PTUN pun ditempuh.
Sementara itu, kuasa hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail, menilai gugatan tersebut tidak berdasar. Ia menegaskan bahwa pembebasan bersyarat kliennya sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Sistem Pemasyarakatan.
“Syarat-syaratnya telah terpenuhi. Pak Novanto sudah menjalani dua pertiga masa hukuman dan dinilai berkelakuan baik berdasarkan surat keputusan pembebasan bersyarat,” kata Maqdir.
Ia menambahkan, Setya juga telah melunasi kewajibannya dengan membayar denda dan ganti rugi sebagaimana tertuang dalam putusan pengadilan. “Sebelum bebas bersyarat, beliau sudah membayar sekitar Rp44 miliar. Jadi secara hukum, tidak ada alasan untuk menyebut pembebasan bersyarat ini tidak sah,” tegasnya.
Menanggapi dugaan keterlibatan kliennya dalam kasus TPPU, Maqdir menyebut tuduhan tersebut tidak memiliki dasar kuat. “Dalam perkara pokoknya saja tidak terbukti ada aliran uang yang diterima langsung oleh Pak Novanto. Jadi tidak bisa dikatakan beliau mencuci uang,” ujarnya.
Kasus ini kembali memunculkan perdebatan publik mengenai konsistensi penerapan hukum terhadap mantan pejabat tinggi negara yang tersangkut korupsi besar. Banyak pihak menilai langkah LP3HI sebagai bentuk kontrol masyarakat terhadap praktik penegakan hukum di Indonesia. []
Siti Sholehah.
