Waka MPR Minta Penegakan Hukum Tegas untuk Lindungi Perempuan Disabilitas
                JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat (Rerie), menyerukan perlunya langkah nyata dan sistematis untuk melindungi perempuan penyandang disabilitas dari ancaman kekerasan. Ia menilai masih lemahnya penegakan hukum dan terbatasnya fasilitas ramah disabilitas membuat kelompok ini rentan menjadi korban berulang.
“Ancaman tindak kekerasan yang dihadapi perempuan dengan disabilitas harus menjadi perhatian bersama untuk diatasi dengan berbagai upaya perlindungan yang menyeluruh,” kata Rerie dalam keterangan tertulis, Senin (03/11/2025).
Menurut data Komnas Perempuan tahun 2024, terdapat 330.097 kasus kekerasan berbasis gender, dengan 98,5 persen di antaranya terjadi di ranah domestik. Angka tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius, terlebih bagi mereka yang memiliki disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas bahkan berisiko mengalami kekerasan dua hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan perempuan tanpa disabilitas.
Rerie menekankan, berbagai regulasi yang telah disusun untuk melindungi kelompok rentan tersebut perlu diterapkan secara efektif. Ia menilai bahwa implementasi hukum yang lemah menjadi salah satu penyebab masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan disabilitas.
“Instrumen hukum yang telah tersedia perlu diimplementasikan secara efektif untuk menjamin perlindungan menyeluruh bagi seluruh warga negara, termasuk perempuan penyandang disabilitas,” ujarnya.
Politikus Partai NasDem yang juga anggota Komisi X DPR RI itu menyoroti pentingnya konsistensi aparat penegak hukum dalam menangani laporan kekerasan, serta penyediaan akses dan fasilitas ramah disabilitas di tempat perlindungan korban atau shelter.
Ia menegaskan, fasilitas perlindungan seharusnya dilengkapi sarana pendukung seperti kursi roda, jalur landai, hingga pendamping psikososial khusus bagi penyandang disabilitas. “Akses bagi perempuan disabilitas ke shelter korban kekerasan perlu dipermudah, termasuk penyediaan fasilitas pendukung seperti kursi roda bagi yang membutuhkan,” kata Rerie.
Lebih lanjut, Rerie menilai bahwa perlindungan bagi perempuan disabilitas tidak cukup hanya dituangkan dalam bentuk kebijakan atau undang-undang. Upaya membangun pemahaman tentang kesetaraan dan inklusivitas, menurutnya, harus dimulai dari lingkungan sosial terkecil, yakni keluarga.
“Penyandang disabilitas perlu diperlakukan sebagai individu yang setara, dengan hak yang sama seperti warga lainnya, bukan sebagai objek rasa kasihan atau beban,” tutupnya.
Seruan Rerie ini menjadi pengingat bahwa keberpihakan terhadap kelompok rentan tidak cukup diwujudkan dalam bentuk aturan tertulis semata, tetapi harus diiringi dengan langkah nyata di lapangan agar hak-hak mereka benar-benar terlindungi. []
Siti Sholehah.
