Dedi Mulyadi Jawab Julukan ‘Gubernur Konten’

JAKARTA – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menepis anggapan publik yang menjulukinya sebagai “Gubernur Konten”. Ia menegaskan bahwa aktivitasnya di media sosial bukan untuk mencari popularitas, melainkan wujud transparansi dan integritas dalam menjalankan tugas.

Dalam dialog bersama Pemimpin Redaksi detikcom, Alfito Deannova Ginting, dalam program Jejak Pradana, Dedi mengatakan bahwa setiap langkah dan kebijakannya perlu terekam sebagai bukti keterbukaan kepada masyarakat. “Jadi ya, saya melihat bahwa apa yang saya lakukan harus terekam,” ujar Dedi, Jumat (07/11/2025).

Melalui kanal YouTube resminya, Dedi kerap menampilkan kegiatannya di lapangan, mulai dari inspeksi mendadak hingga interaksi langsung dengan warga. Tak jarang, ekspresinya yang emosional—marah, kecewa, bahkan menangis—tampak nyata tanpa penyuntingan. Menurut Dedi, hal itu justru menunjukkan kejujuran dan menjaga konteks peristiwa agar tak dipelintir.

“Itu kan dokumen. Bayangkan, saya pasti beberapa kali kena fitnah dari semua kegiatan yang saya lakukan dan kemudian orang memutarbalikkan fakta. Justru terjawab dengan tayangan di YouTube itu, karena utuh,” jelasnya.

Ia mencontohkan pengalaman saat melakukan sidak ke perusahaan air mineral. Dalam momen itu, Dedi diminta untuk menghapus dokumentasi oleh pihak perusahaan, namun ia menolak. “Saya tidak mau, kenapa? Justru dengan saya menghapus akan menjadi pertanyaan publik, jangan-jangan ada mainnya nih dihapus,” ujarnya.

Bagi Dedi, dokumentasi lapangan merupakan bentuk pendidikan publik tentang tata kelola pemerintahan. Ia menyoroti adanya perusahaan daerah yang menerima dana besar tanpa dasar hukum yang jelas. “Ada air yang dibayarkan per tahun pada BUMN kisarannya Rp 400 juta, tapi dasar pungutannya nggak ada. Nah, dari situ saya katakan, masyarakat mandi dari air sawah. Ini ketidakadilan yang harus segera dibongkar,” tuturnya.

Dedi menolak menyebut kegiatannya sebagai konten. “Kalau konten itu ada penulis skripnya, ada action, atau nanti ‘Pak, kisi-kisinya ini’. Saya kan nggak. Mengalir aja, turun ini, pasti ada emosi, nangis, marah, wajar, dan saya tak mau itu diedit,” katanya.

Lebih jauh, Dedi menegaskan bahwa yang ia tampilkan bukan drama, melainkan peristiwa nyata yang menjadi bagian dari akuntabilitas publik. “Kalau yang konten itu drama, itu kan film. Tapi berita bukan drama. Saya ini setiap hari menampilkan berita, bukan menampilkan drama,” tegasnya.

Melalui pendekatan tersebut, Dedi Mulyadi ingin menegaskan bahwa keterbukaan dan kejujuran merupakan bentuk komunikasi politik baru di era digital—di mana transparansi bukan sekadar slogan, melainkan bagian dari tanggung jawab moral pemimpin terhadap publik. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *