Dunia Guncang: 2.000 Warga Sudan Tewas Dibantai Milisi RSF
JAKARTA – Suasana mencekam menyelimuti Kota el-Fasher, Sudan, ketika rekaman video memperlihatkan sekelompok pria berseragam milisi Rapid Support Forces (RSF) tertawa di atas mobil pikap, sementara sembilan jasad terbaring di jalan. Salah satu dari mereka berteriak sambil menenteng senjata, “Lihat semua ini. Lihat genosida ini,” disambut tawa rekan-rekannya.
Video tersebut menjadi bukti baru kebrutalan yang tengah melanda Sudan. Menurut laporan lembaga kemanusiaan internasional, lebih dari 2.000 orang tewas dalam pembantaian di el-Fasher pada bulan lalu. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) kini resmi membuka penyelidikan terhadap RSF atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
El-Fasher merupakan benteng terakhir militer Sudan di wilayah Darfur, yang sejak 2023 menjadi medan pertempuran antara tentara pemerintah dan pasukan paramiliter RSF. Konflik yang telah berlangsung dua tahun itu menewaskan lebih dari 150 ribu jiwa, membuat jutaan orang mengungsi, dan meninggalkan luka sosial yang mendalam di seluruh negeri.
Citra satelit yang dirilis Yale Humanitarian Research Lab menunjukkan el-Fasher kini terisolasi total. RSF disebut membangun gundukan pasir besar untuk mengepung kota dan memutus akses bantuan kemanusiaan. Akibat pengepungan itu, warga sipil terjebak dalam kelaparan dan kekerasan tanpa jalan keluar.
Serangan brutal RSF juga menyasar tempat ibadah dan fasilitas umum. Pada 19 September, 78 orang tewas dalam serangan ke sebuah masjid. Sebulan kemudian, 53 orang meninggal dunia akibat serangan drone dan artileri di kamp pengungsian. Video yang diverifikasi BBC Verify memperlihatkan seorang pria tergantung terbalik dari pohon, dituduh menyelundupkan makanan ke dalam kota yang dikepung.
Kekerasan memuncak pada 26 Oktober, saat RSF merebut markas Divisi Infanteri ke-6 militer pemerintah. “Mereka semua akan mati seperti ini,” kata salah satu anggota RSF dalam video lain yang menunjukkan puluhan mayat di gedung universitas.
Dalam rekaman lainnya, seorang komandan RSF bernama Abu Lulu terlihat menembak tawanan tak bersenjata. “Saya tidak akan pernah punya belas kasihan. Tugas kami hanya membunuh,” ucapnya sebelum melepaskan peluru ke arah korban.
Rekaman dan citra satelit memperlihatkan jasad-jasad korban dibiarkan tergeletak di jalan, beberapa di antaranya masih berbaris dalam posisi eksekusi. Para analis menyebut pola tersebut konsisten dengan indikasi pembantaian massal.
Di tengah kecaman dunia, pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, mengakui adanya “pelanggaran” dan berjanji akan menyelidiki. Beberapa anggota, termasuk Abu Lulu, dikabarkan ditahan. Namun, laporan PBB menilai langkah itu lebih bersifat pencitraan politik ketimbang penegakan keadilan.
Organisasi kemanusiaan internasional menegaskan, jika kekerasan ini tidak segera dihentikan, Sudan akan menghadapi bencana kemanusiaan terbesar dalam dua dekade terakhir. Sementara dunia menatap, ribuan warga sipil di el-Fasher masih berjuang bertahan hidup di tengah reruntuhan dan rasa takut. []
Siti Sholehah.
