Bendera Bulan Bintang dan Suara Mualem
JAKARTA – Tren pengibaran bendera bulan bintang kembali mencuat di berbagai platform media sosial. Fenomena ini membangkitkan diskusi publik mengenai simbol identitas Aceh dan batasan regulasi yang berlaku. Menanggapi hal tersebut, Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, memberikan tanggapan yang cenderung menyejukkan.
“Kita mengimbau tidak menaikkan,” kata Mualem dilansir detikSumut, Rabu (19/11/2025).
Namun, di sisi lain, Mualem juga tidak bersikap keras terhadap fenomena tersebut. Ia merespons dengan santai, seolah memahami bahwa tindakan itu dilakukan sebagian warga sebagai bagian dari ekspresi sosial dan kebudayaan.
“Tapi ya lah untuk aneuk (anak) muda sige-ge ken hana peu (sesekali kan nggak apa-apa),” jelasnya.
Pernyataan tersebut menjadi sorotan karena menunjukkan pendekatan persuasif dari pemerintah daerah, alih-alih penindakan. Pengibaran bendera bulan bintang disebut kerap terjadi pada acara-acara keagamaan dan kebudayaan, seperti maulid Nabi di sejumlah desa di Aceh. Bendera itu dikibarkan di tiang kayu pada lokasi acara, sebagai simbol kebanggaan sejarah dan identitas masyarakat setempat.
Secara legal, bendera bulan bintang pernah disahkan sebagai Bendera Aceh melalui Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Qanun tersebut menjadi dasar hukum bagi sebagian masyarakat untuk tetap menganggap bendera ini sah digunakan sebagai simbol daerah. Namun, pemerintah pusat tidak menyetujui penerapan bendera tersebut karena dianggap memiliki kemiripan historis dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), organisasi yang terlibat konflik masa lalu.
Meskipun status hukumnya masih menjadi perdebatan antara pemerintah pusat dan daerah, sebagian warga menilai bendera bulan bintang sebagai bagian dari warisan sejarah Aceh, bukan simbol politik. Bendera berwarna merah dengan garis hitam dan putih ini memang pernah digunakan sebagai bendera GAM ketika Aceh masih berkonflik. Namun kini, sebagian masyarakat melihatnya lebih sebagai representasi identitas budaya Aceh.
Situasi ini akhirnya menciptakan dilema tersendiri, antara menjaga semangat lokal dan kepatuhan terhadap aturan nasional. Pemerintah daerah pun mengambil posisi tengah, mengimbau masyarakat untuk tidak mengibarkan bendera tersebut secara resmi, tetapi tetap berupaya menjaga suasana damai dan kondusif.
Dalam berbagai kesempatan, tokoh Aceh, termasuk Mualem, berharap ekspresi budaya tidak menimbulkan gesekan politik. Ia juga mendorong generasi muda Aceh agar tetap menjaga persatuan dan mematuhi aturan negara, tanpa melupakan identitas daerahnya. []
Siti Sholehah.
