Pasien Allan Memorial Gugat Eksperimen CIA
JAKARTA – Lebih dari enam dekade berlalu, namun luka ingatan Lana Ponting, seorang perempuan lanjut usia asal Manitoba, Kanada, belum kunjung sembuh. Kenangan samar saat tinggal di Allan Memorial Institute pada 1958 masih menghantuinya, bukan sebagai perawatan medis, tetapi sebagai pengalaman traumatis dari eksperimen rahasia yang diduga terkait proyek pengendalian pikiran oleh CIA.
Hal pertama yang ia ingat tentang bangunan itu adalah aromanya. “Saya tidak suka tampilan tempat itu. Menurut saya, itu tidak terlihat seperti rumah sakit,” kata Ponting mengenang, dikutip BBC. Bangunan yang dulunya merupakan rumah milik konglomerat pelayaran Skotlandia itu menjadi tempat dirinya ‘dirawat’ selama sebulan atas perintah hakim karena dianggap berperilaku “tidak patuh”.
Ponting, kala itu gadis berusia 16 tahun, tak pernah menyangka akan menjadi bagian dari eksperimen rahasia selama Perang Dingin. “Saya adalah remaja biasa,” tuturnya. Namun, menurut catatan medis yang baru diperolehnya, ia ditetapkan mengikuti perawatan intensif tanpa mengetahui dirinya menjadi subjek penelitian.
Di balik dinding institut itu, dilakukan serangkaian eksperimen dalam proyek yang dikenal sebagai MK-Ultra, di mana efek obat-obatan psikedelik, terapi kejut listrik, dan teknik manipulasi mental diuji terhadap pasien tanpa persetujuan mereka. “Rekaman itu diputar berulang-ulang, ‘Kamu anak baik, kamu anak nakal,’” kenang Ponting tentang proses yang disebut Dr. Ewen Cameron sebagai metode “penjelajahan”.
Jordan Torbay, mahasiswa doktoral yang meneliti eksperimen tersebut menjelaskan, “Pada dasarnya, pikiran pasien dimanipulasi menggunakan isyarat verbal.” Menurutnya, eksperimen itu melibatkan manipulasi psikis dengan memanfaatkan rekaman suara, koma buatan, hingga berbagai jenis obat.
Catatan medis menunjukkan Ponting mendapatkan LSD, sodium amytal, desoxyn, hingga gas nitrous oxide. Dr Cameron mencatat, “Pada tanggal 30 April, pasien menjalani pemeriksaan ia menjadi sangat tegang dan sangat agresif saat diberikan gas nitrous oxide, mengempaskan dirinya setengah keluar dari tempat tidur dan mulai berteriak.”
Kini, pada usia lanjut, Ponting masih bergulat dengan dampak masa lalunya. Ia mengaku mengalami trauma, mimpi buruk, hingga ketergantungan obat seumur hidup. “Terkadang saya terbangun berteriak di malam hari karena apa yang terjadi,” ujarnya.
Perjuangan panjang hukum pun dimulai. Pada Kamis (13/11/2025), pengadilan menolak banding Rumah Sakit Royal Victoria, membuka jalan bagi gugatan class-action berlanjut. Bagi Ponting dan korban lainnya, ini bukan sekadar menuntut ganti rugi, melainkan upaya mencari pengakuan dan pembelajaran etis dari sejarah kelam tersebut.
“Ini bukan tentang mengembalikan apa yang hilang kepada pasien, tetapi memastikan penderitaan mereka tidak sia-sia,” kata Torbay.
Ponting, kini nenek dari empat cucu, hanya berharap satu hal: keadilan. “Setiap kali saya melihat foto Dr Cameron, itu membuat saya sangat marah,” ucapnya. []
Siti Sholehah.
