AS Finalisasi Status Teroris Ikhwanul Muslimin
WASHINGTON DC – Pemerintah Amerika Serikat (AS) tengah memasuki tahap akhir pembahasan terkait rencana penetapan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris asing. Organisasi yang dikenal memiliki pengaruh besar di dunia Islam itu dinilai menjadi salah satu kelompok politik dan keagamaan yang paling disorot dalam dinamika geopolitik global.
Dilaporkan oleh Al Arabiya, Senin (24/11/2025), Presiden Donald Trump mengonfirmasi bahwa administrasinya sedang memproses keputusan tersebut melalui mekanisme resmi pemerintah federal. Pernyataan Trump disampaikan dalam wawancara yang dikutip oleh media lokal AS, Just the News, pada Minggu (23/11/2025) waktu setempat.
“Itu akan dilakukan dengan cara yang paling keras dan tegas,” tegas Trump, tanpa memberikan penjelasan lebih rinci terkait tahapan hukum maupun implikasi kebijakan luar negerinya. Ia juga menyebut bahwa “Dokumen akhir sedang disusun.”
Langkah ini menandakan keseriusan Washington dalam memperketat kebijakan keamanan global, sekaligus menunjukkan ketegangan politik terhadap organisasi yang telah lama menjadi bagian dari percaturan politik di Timur Tengah. Penetapan ini, apabila terealisasi, akan berdampak pada hubungan diplomatik AS dengan sejumlah negara Arab maupun negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Sejumlah negara sebelumnya telah lebih dulu mengambil sikap tegas terhadap Ikhwanul Muslimin. Awal tahun ini, Yordania resmi melarang organisasi tersebut setelah adanya dugaan rencana sabotase yang berhasil digagalkan oleh badan keamanan negara itu. Mesir, Rusia, Arab Saudi, Suriah, dan Uni Emirat Arab juga telah menetapkan status terlarang terhadap kelompok itu, dengan alasan yang berkaitan dengan keamanan nasional dan stabilitas politik.
Ikhwanul Muslimin, yang berdiri di Mesir pada tahun 1928, dikenal sebagai salah satu organisasi Islam tertua dan memiliki jaringan luas di berbagai negara. Di luar peran keagamaannya, organisasi ini juga memiliki pengaruh dalam bidang sosial, pendidikan, dan politik. Meski begitu, keberadaannya kerap menuai kontroversi karena dinilai memiliki agenda politik yang dapat memicu instabilitas.
Saat ini, organisasi tersebut dipimpin oleh Mohammed Badie, yang sedang menjalani hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati. Ia bersama 37 anggota lainnya dituduh melakukan konspirasi untuk menghasut kerusuhan di Mesir setelah penggulingan mantan Presiden Mohammed Morsi oleh militer pada Juli 2013. Morsi, yang juga berasal dari Ikhwanul Muslimin, pernah menjadi tokoh penting dalam kebangkitan politik organisasi itu.
Rencana AS ini dinilai tidak hanya menjadi kebijakan sepihak, tetapi juga mencerminkan strategi global dalam memerangi ekstremisme. Meski demikian, keputusan akhir tetap menunggu proses evaluasi dari lembaga keamanan dan hukum di Washington. []
Siti Sholehah.
