Perempuan Gigih Penakluk Dunia Sains

JAKARTA – Dari tempat penampungan tunawisma hingga menjadi ilmuwan kelas dunia, perjalanan hidup Profesor Dame Ijeoma Uchegbu menjadi bukti bahwa keteguhan hati mampu mengubah nasib seseorang. Kisahnya bermula pada 1990 ketika ia kembali ke London, kota kelahirannya, dengan membawa satu koper, sedikit uang, dan tiga anak perempuan, salah satunya masih bayi. Kondisi minim dana membuatnya harus tinggal sementara di rumah penampungan tunawisma selama berbulan-bulan.

Beberapa dekade kemudian, Ijeoma menjelma menjadi salah satu ilmuwan terkemuka di Inggris, dikenal dalam penelitian nanoteknologi dan pengembangan obat berbasis nanopartikel. Perjalanan panjang ini diwarnai keberanian, ketekunan, dan berbagai cobaan hidup yang tidak mudah.

Ijeoma lahir dari pasangan Nigeria yang menempuh pendidikan di Inggris pada 1960. Namanya, “Ijeoma”, memiliki arti “perjalanan yang baik”, sebuah harapan dari kedua orang tuanya saat memulai hidup di negeri baru. Namun, masa kecilnya penuh dinamika. Karena keterbatasan, ia sempat diasuh oleh keluarga di Kent sebelum akhirnya kembali ke ayahnya tanpa penjelasan yang jelas.

Pertemuan kembali dengan ibu kandungnya pada usia 13 tahun menjadi momen emosional. “Ia sangat, sangat senang bertemu saya, dan sangat gugup; ia gemetar ketika kami berpelukan,” kenangnya. Namun, kebahagiaan itu tak lama. “Saya menangis, menjerit, saya tidak pernah membayangkan tidak akan bertemu dengannya lagi,” ucapnya, saat sang ibu meninggal dunia tak lama kemudian.

Meski tumbuh di Inggris, ia tetap menyimpan keinginan untuk kembali ke Nigeria. Ketika akhirnya pindah ke sana, ia justru mengalami kesulitan beradaptasi, baik secara sosial maupun fisik. Ijeoma sempat terkena sengatan matahari parah hingga harus beristirahat selama berbulan-bulan. Namun dari sanalah ia menyadari minatnya pada sains dan matematika.

Pada usia 16 tahun, ia sudah menempuh pendidikan farmasi di universitas. Ia menikah dan memiliki tiga anak, namun rumah tangganya kandas. Keputusan kembali ke Inggris menjadi langkah besar dalam hidupnya. “Saya ingin menjadi ilmuwan, dan dengan infrastruktur yang ada di Nigeria, hal itu sulit,” ujarnya.

Kehidupan tidak mudah. Ia dan anak-anaknya tinggal di tempat penampungan selama tujuh bulan. “Terkadang dapurnya ditutup dan kami tidak bisa memasak… ketika saya pergi, rasanya seperti dibebaskan dari penjara,” ungkapnya.

Meski menghadapi kesulitan finansial dan sosial, ia tidak menyerah. Ia mengambil program doktoral di bidang nanoteknologi dan mendapatkan beasiswa. Pada sebuah konferensi, ia bertemu Profesor Andreas Schätzlein, yang kemudian menjadi suami dan rekan penelitiannya. Bersama, mereka mengembangkan obat berbasis nanopartikel untuk menargetkan penyakit dengan lebih presisi dan minim efek samping.

Kini, Ijeoma aktif mengajar di University College London dan University of Cambridge. Selain menjadi ilmuwan, ia juga mengeksplorasi humor dan pernah tampil dalam pertunjukan komedi. “[Itu] menakutkan, tetapi pada akhirnya, saya bisa bersenang-senang,” katanya, menutup kisah inspiratifnya. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *