Perlindungan Imigran Myanmar Dicabut AS
JAKARTA – Keputusan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mencabut Status Perlindungan Sementara atau Temporary Protected Status (TPS) bagi imigran asal Myanmar menimbulkan perdebatan luas. Kebijakan yang diumumkan pada akhir pekan lalu ini berdampak pada sekitar 4.000 warga Myanmar yang selama ini tinggal dan bekerja secara legal di AS melalui program TPS.
TPS merupakan perlindungan sementara yang diberikan kepada warga negara asing yang dinilai berisiko tinggi jika kembali ke negara asal mereka. Risiko tersebut berkaitan dengan konflik bersenjata, krisis politik, bencana alam, maupun kondisi luar biasa lainnya. Melalui skema TPS, pemegang status ini terlindungi dari deportasi dan mendapatkan izin resmi untuk bekerja.
Pencabutan TPS terhadap warga Myanmar diumumkan bersamaan dengan kebijakan imigrasi baru Trump yang lebih ketat. Selain Myanmar, TPS juga dihapus bagi warga Afghanistan, Kamerun, Haiti, Honduras, Nepal, Nikaragua, Suriah, Sudan Selatan, Venezuela, dan Somalia.
Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil setelah meninjau situasi di Myanmar. Menurutnya, kondisi negara itu telah menunjukkan “perbaikan dalam tata kelola dan stabilitas di tingkat nasional dan lokal.” Noem juga menyebut adanya pencabutan status darurat pada Juli lalu dan menyatakan optimisme bahwa akan “ada pemilu yang bebas dan adil” di Myanmar pada Desember mendatang.
Meski demikian, pernyataan itu menuai kritik dari berbagai organisasi hak asasi manusia. Human Rights Watch (HRW) menyatakan bahwa pandangan pemerintah AS keliru dan mengabaikan realitas di lapangan. “Kesalahan pernyataan Keamanan Dalam Negeri dalam mencabut TPS bagi warga Myanmar sangat parah sehingga sulit membayangkan siapa yang akan mempercayainya,” ujar Direktur Advokasi HRW Asia, John Sifton.
Organisasi tersebut menilai, situasi Myanmar masih jauh dari stabil. Meski status darurat nasional dicabut, banyak wilayah justru diberlakukan status darurat militer baru, terutama di sembilan negara bagian dan wilayah konflik. Hal ini menunjukkan bahwa eskalasi kekerasan justru masih berlangsung.
Menurut Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, sangat tidak realistis berharap pemilu bebas dan adil dapat berlangsung dalam situasi saat ini. “Bagaimana mungkin ada yang bilang mereka bebas dan adil?” katanya. Turk menambahkan, “Dan bagaimana mungkin mereka bisa melakukannya ketika sebagian besar wilayah negara sebenarnya tidak berada di bawah kendali siapa pun, sementara militer terlibat dalam konflik dan telah menekan penduduknya selama bertahun-tahun?”
Sejak kudeta militer pada 2021 yang menggulingkan Aung San Suu Kyi, Myanmar terjerumus dalam konflik berkepanjangan. Junta militer menghadapi perlawanan dari kelompok pro-demokrasi dan faksi bersenjata etnis minoritas. Kondisi ini mendorong terjadinya perang saudara yang tak kunjung reda dan memperburuk kondisi kemanusiaan.
Departemen Luar Negeri AS bahkan masih menyarankan agar warga Amerika menghindari perjalanan ke Myanmar karena alasan “konflik bersenjata, potensi kerusuhan sipil”, dan “penahanan yang salah”. []
Siti Sholehah.
