Aksi Burqa Hanson Berujung Skorsing Parlemen
CANBERRA – Debat mengenai kebebasan beragama dan ekspresi politik kembali mencuat di Australia setelah Senator Pauline Hanson dijatuhi sanksi skorsing oleh Senat. Hanson, politisi asal Queensland yang dikenal vokal dengan pandangan anti-Islam dan anti-imigrasi, memicu kegaduhan publik setelah mengenakan burqa saat menghadiri sidang majelis tinggi pada Senin (24/11/2025) waktu setempat.
Aksi Hanson tersebut dilakukan setelah ia ditolak mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berisi larangan pemakaian burqa dan penutup wajah lainnya di tempat umum. Kostum burqa yang ia kenakan bukan sebagai bagian dari keyakinan, melainkan sebagai bentuk protes politik untuk menyoroti kampanyenya.
Insiden tersebut langsung menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk sesama anggota parlemen. Para senator, terutama yang berasal dari komunitas Muslim, menilai tindakan Hanson sebagai bentuk penghinaan terhadap umat beragama. Dia dianggap mempermainkan simbol keagamaan demi kepentingan politik pribadi.
Senat Australia, seperti dilaporkan Reuters pada Selasa (25/11/2025), akhirnya menjatuhkan sanksi skorsing selama tujuh hari masa sidang terhadap Hanson. Keputusan itu diambil melalui pemungutan suara, dengan hasil 55 suara mendukung dan lima suara menolak. Mosi kecaman itu sekaligus menegaskan bahwa forum parlemen tidak dapat digunakan untuk aksi yang bersifat merendahkan keyakinan kelompok tertentu.
Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, menyatakan tindakan Hanson telah mencoreng martabat parlemen dan mengganggu harmoni sosial. “Aksi Senator Hanson yang penuh kebencian dan dangkal mengoyak tatanan sosial kita, dan saya meyakini hal itu membuat Australia lebih lemah, dan juga memiliki konsekuensi yang kejam bagi banyak dari kita yang paling rentan,” ucap Wong. Ia juga menambahkan, “Senator Hanson mengejek dan menjelek-jelekkan seluruh keyakinan, keyakinan yang dianut oleh hampir satu juta warga Australia … Saya belum pernah melihat seseorang begitu tidak hormat (kepada parlemen).”
Di sisi lain, Hanson tetap bersikukuh dengan pandangannya. Dalam pernyataan kepada wartawan, ia menyatakan tidak ada aturan resmi terkait pakaian di gedung parlemen. “Jika Anda bisa mengenakan helm ke bank atau tempat-tempat lainnya di mana mereka meminta Anda melepasnya, mengapa burqa berbeda?” tanyanya. Ia menegaskan, “Saya akan teguh pada pendirian saya dan apa yang saya yakini, saya akan terus melakukan demikian. Rakyatlah yang akan menilai saya.”
Hanson bukan sosok baru dalam kontroversi terkait isu agama dan imigrasi. Sejak tahun 1990-an, ia dikenal menentang keras imigrasi dari Asia dan pencari suaka. Pada tahun 2017, ia juga sempat mengenakan burqa di dalam parlemen sebagai simbol kampanye pelarangan nasional.
Kasus ini tidak hanya menjadi kritik terhadap Hanson, tetapi juga membuka kembali diskusi tentang batas antara kebebasan berekspresi, toleransi beragama, dan etika dalam berpolitik. Publik menilai, politik seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan martabat dan simbol kepercayaan suatu kelompok masyarakat. []
Siti Sholehah.
