Fenomena Ikan Mati di Sayung Jadi Sorotan
DEMAK – Sebuah video yang menampilkan ribuan ikan mati mengambang di perairan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, memicu perhatian publik dalam beberapa hari terakhir. Rekaman itu memperlihatkan hamparan ikan berwarna pucat yang terdampar di tepian pantai, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai kondisi lingkungan di kawasan pesisir tersebut.
Video tersebut salah satunya dibagikan melalui akun Instagram @infodemakraya, dan sejak diunggah, masyarakat ramai mempertanyakan penyebab yang memicu kematian massal ikan itu. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Demak pun memberikan penjelasan awal terkait fenomena yang terjadi pada Kamis (27/11/2025) malam tersebut.
Sekretaris DLH Demak, Sudarwanto, menyampaikan bahwa lokasi kejadian berada di wilayah Desa Bedono, tepatnya di Dukuh Tonosari, Kecamatan Sayung. Ia menegaskan bahwa area tersebut bukanlah kawasan tambak produksi, melainkan lokasi yang sedang dipersiapkan untuk pembangunan kolam retensi. “(Lokasi) Desa Bedono Dukuh Tonosari, bukan tambak produksi, (tetapi) untuk persiapan kolam retensi, untuk persiapan menampung lumpur kolam retensi. (Itu) lahan sudah tidak produktif, jadi bukan tambak ikan,” ujarnya seperti dikutip detikJateng, Jumat (28/11/2025).
Hingga saat ini, DLH masih melakukan pemeriksaan sampel air dari wilayah tersebut untuk memastikan penyebab pasti matinya ribuan ikan itu. Namun, Sudarwanto mengemukakan dugaan awal yang mengarah pada pengaruh aktivitas pembangunan infrastruktur besar yang sedang berlangsung di dekat lokasi.
Menurutnya, perubahan kondisi lingkungan akibat pembangunan jalan tol di sekitar perairan Sayung dapat menjadi pemicu. Ia menjelaskan bahwa struktur jalan tol yang telah tersambung berpotensi membentuk cekungan yang menghambat sirkulasi alami air laut maupun air payau. “Kalau menurut teori, ini teori loh, coba saya teori, itu karena sudah tolnya sudah nyambung, ya kan? Dia kan otomatis (terjadi) cekungan. Itu cekungan yang tidak bisa sirkulasi air laut masuk, air dari payau juga masuk, bertukar dengan air laut,” ucapnya.
Akibat terhalangnya sirkulasi, terjadi perubahan salinitas atau tingkat keasinan air. Selain itu, suhu air di wilayah tersebut juga turut berubah. Kondisi ini dianggap mampu mengejutkan ekosistem perairan setempat, khususnya ikan-ikan yang sensitif terhadap perubahan parameter lingkungan. “Sehingga salinitasnya berubah, kemudian suhunya juga juga berubah, (ikannya) kaget. Kalau teorinya seperti itu. Coba nanti di kita crosscheck lagi ya,” imbuh Sudarwanto.
Kematian ikan secara massal di wilayah pesisir bukanlah peristiwa baru, namun kejadian di Sayung ini menyedot perhatian lebih besar karena terjadi di tengah proyek besar yang berdampak langsung pada lingkungan pesisir. Pemeriksaan lebih lanjut dari DLH diharapkan mampu mengungkap faktor utama pemicu fenomena ini, sehingga langkah penanganan dapat dilakukan dengan tepat.
Selain menunggu hasil uji laboratorium, masyarakat juga berharap pemerintah melakukan evaluasi terhadap dampak pembangunan infrastruktur terhadap ekosistem laut dan pesisir. Perubahan pola arus, sedimentasi, hingga sirkulasi air akibat konstruksi sering kali menjadi aspek yang kurang mendapatkan perhatian dalam tahap awal perencanaan.
Fenomena di Sayung menjadi pengingat bahwa pembangunan dan pelestarian lingkungan harus berjalan beriringan. Tanpa mitigasi yang tepat, aktivitas pembangunan fisik dapat memengaruhi keseimbangan alam dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada sumber daya laut. []
Siti Sholehah.
