Korban Perkosaan Bisa Dapat Obat Penggugur Tanpa Dipidana
JAKARTA – Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana kembali dilanjutkan oleh Komisi III DPR dengan fokus pada aturan terkait pemberian obat untuk menggugurkan kandungan. Dalam rapat tersebut, terjadi perdebatan mengenai batasan pidana terhadap pihak yang memberikan atau meminta perempuan menggunakan obat yang dapat menyebabkan gugurnya janin, serta kondisi tertentu yang dapat dikecualikan dari ancaman hukuman.
Agenda rapat dimulai dengan pembacaan substansi Pasal 251 KUHP oleh Badan Keahlian DPR. Pasal tersebut mengatur ancaman pidana terhadap siapa pun yang memberikan obat atau menganjurkan seorang perempuan untuk mengonsumsinya dengan maksud menggugurkan kandungan. Disebutkan bahwa pelanggar dapat dikenai hukuman penjara hingga empat tahun atau denda kategori IV. “Pasal 251 ayat 1, setiap orang yang memberi obat dan meminta perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV,” ujar Badan Keahlian DPR pada rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (01/12/2025).
Selama pembahasan, Fraksi NasDem mengusulkan penambahan ayat baru, yakni ayat 3, yang berfungsi sebagai pengecualian terhadap ancaman pidana tersebut. Usulan ini menekankan perlunya ruang hukum bagi pemberian obat penggugur kandungan dalam kondisi tertentu, khususnya yang menyangkut keselamatan dan hak korban. “Selanjutnya masukan dari Fraksi NasDem, usulan perubahannya substansi baru. Ketentuan pasal 251 ditambahkan satu ayat yakni ayat 3,” lanjut Badan Keahlian.
Usulan NasDem ini mendapat dukungan dari Fraksi PAN yang mengemukakan pentingnya pengecualian bagi korban tindak pidana seksual. PAN menilai bahwa perempuan yang hamil akibat pemerkosaan atau kekerasan seksual lain seharusnya tidak dipidana jika menerima obat penggugur janin, selama kehamilan masih dalam batas tertentu atau kondisi medis darurat mengharuskan demikian. “Ayat 3, perbuatan dimaksud pada ayat 1 dikecualikan untuk pemberian obat kepada perempuan yang merupakan tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis,” ujar Badan Keahlian membacakan usulan PAN.
Masukan dari kedua fraksi tersebut kemudian mendapat respons positif dari Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Hiariej atau Eddy Hiariej. Ia menyampaikan bahwa usulan untuk menambahkan ayat 3 sejalan dengan ketentuan aborsi yang sudah tercantum dalam pasal lain di KUHP. “Usulan dari NasDem dan PAN kami setuju untuk ditambahkan ayat 3. Sehingga itu nanti dia inline dengan pasal tentang aborsi yang ada di dalam pasal lainnya. Jadi benar memang seperti itu. Kami setuju,” kata Eddy.
Pembahasan lanjutan mengenai penyesuaian pidana ini mencerminkan upaya DPR menata ulang regulasi agar lebih responsif terhadap situasi khusus, termasuk hak dan perlindungan korban kekerasan seksual. Penambahan ayat pengecualian ini juga dinilai sebagai langkah yang dapat memperjelas batasan hukum sekaligus mencegah kriminalisasi terhadap tindakan medis yang dilakukan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dan kesehatan.
Meski demikian, rapat masih akan dilanjutkan untuk membahas detail teknis, termasuk pengaturan mekanisme pemberian obat, persyaratan medis yang harus terpenuhi, serta prosedur hukum yang memperkuat perlindungan bagi korban. []
Siti Sholehah.
