Transaksi Digital Dikebut, Desa Masih Perlu Adaptasi

ADVERTORIAL — Peralihan menuju transaksi non-tunai di Kalimantan Timur (Kaltim) kian mengemuka seiring dorongan pemerintah daerah di Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Paser. Namun di balik semangat digitalisasi, perubahan pola pembayaran ini juga menyingkap tantangan kesiapan masyarakat dalam menghadapi sistem keuangan berbasis teknologi.

Pemanfaatan layanan pembayaran digital seperti QRIS mulai dipacu sebagai jawaban atas kebutuhan transaksi yang cepat, aman, dan transparan. Langkah ini sekaligus mencerminkan upaya pemerintah daerah menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru masyarakat yang semakin akrab dengan transaksi daring dalam aktivitas ekonomi sehari-hari.

Meski demikian, Wakil Ketua III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim), Yenni Eviliana, menilai adopsi pembayaran non-tunai tidak bisa diseragamkan. Ia menegaskan bahwa preferensi masyarakat terhadap metode transaksi masih sangat beragam. “Ini beda-beda, ada orang yang senang tunai, ada orang yang senang non-tunai,” ujarnya saat ditemui usai Musyawarah Wilayah PKB di Hotel Gran Senyiur Balikpapan, Senin (08/12/2025).

Yenni menjelaskan, bagi sebagian masyarakat, transaksi non-tunai justru menghadirkan kemudahan praktis. “Tapi non-tunai ini sebenarnya mempermudah ya, mempermudah kita untuk nggak bawa uang banyak-banyak,” katanya.

Selain efisiensi, aspek keamanan juga menjadi nilai lebih dari sistem pembayaran digital. Dengan minimnya penggunaan uang tunai, risiko kehilangan dompet maupun tindak kejahatan jalanan dapat ditekan. “Lebih praktis, aman dari kecopetan, nggak nemu-nemuin dompet, itu sebenarnya pilihan sih,” tuturnya.

Namun Yenni mengingatkan, transformasi digital tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Ia menilai pendekatan bertahap menjadi kunci agar masyarakat tidak merasa terpaksa mengikuti perubahan. “Lagian toh tidak semua masih, kan ini bertahap, non-tunai itu menurut saya mempermudah sebenarnya,” ucapnya.

Ia juga mengakui adanya kesenjangan literasi digital, terutama di wilayah pedesaan. Keterbatasan pemahaman teknologi masih menjadi hambatan bagi sebagian warga. “Tapi memang bagi sebagian orang mungkin yang di daerah-daerah yang nggak paham teknologi, yang nggak paham sistem itu merepotkan, tapi ini bertahap lah,” ujar Yenni.

Dorongan transaksi non-tunai di PPU dan Paser pun diharapkan tidak hanya berorientasi pada teknologi, tetapi juga pada kesiapan sosial masyarakat. Dengan pendekatan inklusif, digitalisasi pembayaran diyakini mampu memperluas literasi keuangan, meningkatkan efisiensi layanan publik, serta memperkuat fondasi ekonomi daerah di era digital. []

Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *