Izin Kerja Kedaluwarsa, 15 WN China Penyerang TNI Berstatus Mantan Pekerja
PONTIANAK – Insiden penyerangan terhadap aparat TNI di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, membuka persoalan lebih luas terkait pengawasan tenaga kerja asing di sektor pertambangan. Sebanyak 15 warga negara (WN) China ditangkap aparat setelah diduga terlibat dalam penyerangan terhadap warga sipil dan lima anggota TNI di Kecamatan Tumbang Titi. Fakta terbaru mengungkap bahwa para WNA tersebut merupakan mantan pekerja sebuah perusahaan tambang dengan izin kerja yang telah kedaluwarsa.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun, belasan WN China itu sebelumnya bekerja di PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM). Mereka direkrut dan dipekerjakan atas rekomendasi manajemen lama perusahaan. Situasi tersebut terjadi sebelum adanya proses pengambilalihan dan restrukturisasi manajemen yang kini dijalankan secara sah oleh kepemilikan baru perusahaan.
“Keberadaan WNA yang dimaksud dalam peristiwa ini merupakan pihak-pihak yang disponsori oleh manajemen lama, sebelum terjadinya pengambilalihan dan restrukturisasi manajemen perusahaan,” kata Direktur Utama PT SRM Firman.
Firman menegaskan, sejak terjadinya perubahan struktur kepemilikan dan manajemen, PT SRM telah melakukan penataan internal, termasuk evaluasi terhadap seluruh tenaga kerja, baik lokal maupun asing. Manajemen baru, lanjutnya, tidak pernah memberikan persetujuan, penugasan, atau perpanjangan izin kepada tenaga kerja asing untuk tetap bekerja di lingkungan perusahaan.
Ia menyebut keberadaan para WN China tersebut tidak lagi berada dalam tanggung jawab manajemen yang saat ini beroperasi. “Maka, patut kita sebut 15 WN China penyerang TNI dan perusak aset ini adalah mantan pekerja PT SRM manajemen lama,” kata Firman.
Peristiwa penyerangan ini mendapat perhatian serius dari aparat keamanan dan instansi terkait. Selain menimbulkan korban dari kalangan aparat TNI, insiden tersebut juga dinilai berpotensi mengganggu stabilitas keamanan di wilayah industri strategis. Aparat bergerak cepat untuk mengendalikan situasi dan melakukan pengamanan terhadap para pihak yang terlibat.
Sebagai langkah lanjutan, Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Ketapang mengamankan total 34 WN China. Pengamanan ini dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan keimigrasian, khususnya terkait izin tinggal dan izin kerja para WNA tersebut di Indonesia. Dari hasil pendataan awal, diketahui bahwa sebagian WNA masih berada di area sekitar perusahaan meskipun izin kerjanya telah habis masa berlaku.
Kasus ini menegaskan pentingnya koordinasi lintas instansi dalam mengawasi keberadaan tenaga kerja asing, terutama di sektor pertambangan yang kerap melibatkan WNA dalam jumlah signifikan. Lemahnya pengawasan dinilai dapat berujung pada pelanggaran hukum hingga konflik sosial yang berdampak luas.
Aparat penegak hukum memastikan proses penyelidikan akan dilakukan secara menyeluruh, baik terkait dugaan tindak pidana penyerangan maupun pelanggaran aturan keimigrasian. Pemerintah daerah juga didorong untuk meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan, khususnya pada masa transisi manajemen, guna mencegah kejadian serupa terulang di kemudian hari. []
Siti Sholehah.
