Lindsey Graham Tekan Hamas-Hizbullah di Tengah Gencatan Senjata Rapuh
JAKARTA – Seruan keras kembali muncul dari Washington terkait konflik berkepanjangan di Timur Tengah. Senator Amerika Serikat Lindsey Graham mendorong opsi militer terhadap kelompok Hamas di Jalur Gaza dan Hizbullah di Lebanon apabila kedua kelompok tersebut menolak melucuti senjata. Pernyataan itu menambah tekanan politik internasional di tengah gencatan senjata yang masih rapuh dan belum sepenuhnya menjamin stabilitas kawasan.
Pernyataan Graham disampaikan saat kunjungannya ke Israel pada Minggu (21/12/2025). Senator Partai Republik asal South Carolina itu dikenal sebagai salah satu sekutu utama Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan kerap mengambil posisi tegas dalam isu keamanan Israel. Dalam rangkaian pertemuan dengan pejabat Israel, Graham menilai perlucutan senjata Hamas dan Hizbullah sebagai prasyarat mutlak bagi perdamaian jangka panjang.
Gencatan senjata di Jalur Gaza yang mulai berlaku sejak Oktober lalu memang menghentikan eskalasi perang yang telah berlangsung selama dua tahun. Namun, situasi di lapangan masih diwarnai ketegangan dan saling tuding pelanggaran antara Israel dan Hamas. Di sisi lain, gencatan senjata terpisah antara Israel dan Hizbullah di Lebanon, yang berlaku sejak November 2024, juga belum sepenuhnya menghentikan operasi militer Israel di wilayah tersebut.
Dalam konferensi pers selama kunjungannya, Graham secara terbuka menyampaikan pendekatan berbasis tenggat waktu terhadap Hamas.
“Sangat penting bagi kita untuk segera menyusun rencana, memberikan Hamas batasan waktu, memberikan mereka waktu untuk mencapai tujuan perlucutan senjata,” kata Graham.
“Dan jika tidak, saya akan mendorong Presiden Trump untuk mengerahkan Israel untuk menghabisi Hamas,” ujarnya.
Graham menilai keberlanjutan gencatan senjata Gaza akan terancam apabila Hamas tetap mempertahankan kekuatan militernya.
“Ini adalah perang yang panjang dan brutal, tetapi Anda tidak akan berhasil di mana pun di wilayah ini sampai Anda berhasil menyingkirkan Hamas dari masa depan Hamas dan melucuti senjata mereka,” tegasnya.
Ia juga menyoroti dinamika politik di Gaza pascagencatan senjata.
“Sekitar 90 hari setelah gencatan senjata, mereka (Hamas-red) sedang mengkonsolidasikan kekuasaan di Gaza,” sebut Graham.
Menurutnya, kondisi tersebut berpotensi menggagalkan fase kedua gencatan senjata yang tengah didorong para mediator internasional.
Selain Hamas, Graham turut menyinggung Hizbullah di Lebanon. Ia menyerukan keterlibatan militer bersama jika kelompok tersebut menolak menyerahkan senjata beratnya.
“Jika Hizbullah menolak untuk menyerahkan senjata berat mereka, di masa mendatang kita harus terlibat dalam operasi militer bekerja sama dengan Lebanon, Israel, dan Amerika Serikat, di mana kita akan terbang bersama Israel… untuk menumpas Hizbullah,” cetusnya.
Di sisi lain, pemerintah Lebanon menyatakan telah memulai proses perlucutan senjata Hizbullah, dimulai dari wilayah selatan negara itu. Namun, Israel masih meragukan efektivitas langkah tersebut, sementara Hizbullah sendiri berulang kali menolak melepaskan persenjataannya.
Para mediator gencatan senjata Gaza, termasuk Amerika Serikat, Qatar, Mesir, dan Turki, terus mendorong implementasi fase kedua kesepakatan yang mencakup demiliterisasi wilayah Gaza. Namun, pernyataan keras Graham menunjukkan bahwa opsi militer tetap menjadi bayang-bayang dalam upaya mencari solusi permanen konflik di kawasan tersebut. []
Siti Sholehah.
