Rencana Permukiman Israel Tuai Kecaman 14 Negara
JAKARTA – Rencana pemerintah Israel untuk membangun permukiman Yahudi baru di wilayah Tepi Barat kembali memicu reaksi keras dari komunitas internasional. Sebanyak 14 negara secara terbuka menyatakan penolakan terhadap keputusan kabinet keamanan Israel yang menyetujui pembangunan 19 permukiman baru di wilayah Palestina yang diduduki tersebut.
Kecaman ini disampaikan melalui pernyataan bersama yang dirilis Kementerian Luar Negeri Prancis. Negara-negara yang tergabung dalam pernyataan tersebut menilai langkah Israel tidak hanya bertentangan dengan hukum internasional, tetapi juga berpotensi memperburuk situasi keamanan kawasan yang saat ini berada dalam kondisi rentan.
“Kami, Negara Belgia, Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Islandia, Irlandia, Jepang, Malta, Belanda, Norwegia, Spanyol, dan Inggris Raya mengecam persetujuan kabinet keamanan Israel atas 19 permukiman baru di Tepi Barat yang diduduki,” kata pernyataan bersama yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri Prancis dilansir AFP, Kamis (25/12/2025).
Dalam pernyataan tersebut, negara-negara itu menegaskan bahwa kebijakan permukiman Israel selama ini menjadi salah satu penghambat utama tercapainya perdamaian di kawasan Timur Tengah. Mereka kembali menegaskan posisi lama yang menentang segala bentuk perluasan wilayah secara sepihak.
“Kami mengingatkan kembali penentangan kami yang jelas terhadap segala bentuk aneksasi dan perluasan kebijakan permukiman,” tambahnya.
Ke-14 negara itu juga menilai pembangunan permukiman baru di Tepi Barat melanggar hukum internasional dan berpotensi menggagalkan upaya diplomasi yang tengah dilakukan berbagai pihak. Langkah tersebut dinilai dapat mengganggu gencatan senjata yang masih rapuh di Jalur Gaza, terutama ketika para mediator internasional sedang mendorong implementasi fase kedua gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
Dalam konteks tersebut, negara-negara tersebut secara tegas mendesak Israel untuk meninjau ulang kebijakannya dan menghentikan rencana perluasan permukiman.
Negara-negara tersebut mendesak Israel “untuk membatalkan keputusan ini, serta perluasan permukiman”.
Selain itu, mereka kembali menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara sebagai jalan keluar konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Menurut mereka, perdamaian hanya dapat tercapai jika Israel dan Palestina hidup berdampingan secara damai dan aman dalam kerangka negara masing-masing.
Mereka juga menegaskan kembali “komitmen teguh mereka terhadap perdamaian yang komprehensif, adil, dan abadi berdasarkan solusi dua negara… di mana dua negara demokratis, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dalam damai dan keamanan”.
Sebelumnya, rencana pembangunan permukiman ini diumumkan secara terbuka oleh Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich. Ia menyatakan bahwa persetujuan pembangunan permukiman tersebut merupakan langkah strategis untuk mencegah terbentuknya negara Palestina, sebuah pernyataan yang menuai kecaman luas dari berbagai pihak internasional.
Israel diketahui telah menduduki wilayah Tepi Barat sejak perang Arab-Israel pada tahun 1967. Hingga kini, lebih dari 500.000 warga Israel tinggal di permukiman-permukiman di Tepi Barat, tidak termasuk Yerusalem Timur yang juga diduduki dan dianeksasi Israel. Di wilayah yang sama, sekitar tiga juta warga Palestina hidup berdampingan dalam kondisi yang kerap diwarnai ketegangan.
Awal bulan ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut menyampaikan keprihatinannya terhadap laju pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat. PBB menyebut perluasan permukiman tersebut—yang seluruhnya dinilai ilegal menurut hukum internasional—telah mencapai tingkat tertinggi setidaknya sejak tahun 2017.
Dengan meningkatnya tekanan internasional ini, langkah Israel terkait permukiman di Tepi Barat diperkirakan akan terus menjadi sorotan global dan berpotensi mempengaruhi dinamika politik serta diplomasi kawasan Timur Tengah ke depan. []
Siti Sholehah.
