Jaksa Tuntut 10 Tahun Penjara untuk Eks Presiden Korsel Yoon Suk Yeol
SEOUL – Proses hukum terhadap mantan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, memasuki babak krusial setelah jaksa penuntut menuntut hukuman 10 tahun penjara atas perannya dalam deklarasi darurat militer yang mengguncang stabilitas politik Korea Selatan pada akhir 2024. Kasus ini menjadi salah satu perkara paling kontroversial dalam sejarah hukum dan politik negeri tersebut dalam beberapa dekade terakhir.
Berdasarkan laporan AFP, Jumat (26/12/2025), tuntutan tersebut berkaitan dengan tindakan Yoon yang pada 3 Desember 2024 sempat menangguhkan pemerintahan sipil. Keputusan itu menandai pertama kalinya Korea Selatan berada di bawah status darurat militer dalam lebih dari 40 tahun. Langkah tersebut langsung memicu gelombang protes nasional serta ketegangan terbuka di parlemen, ketika anggota legislatif berupaya membatalkan kebijakan tersebut.
Setelah Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mencopot Yoon dari jabatannya pada April lalu, jaksa mulai mengintensifkan sejumlah perkara hukum yang menjerat mantan kepala negara itu. Dalam persidangan terbaru, jaksa menuntut Yoon dengan hukuman penjara selama 10 tahun atas tuduhan penghalangan keadilan. Tuntutan ini didasarkan pada dugaan bahwa Yoon mengecualikan sejumlah anggota kabinet dari pertemuan penting terkait penerapan darurat militer serta menghambat upaya penyelidik untuk menahannya pada Januari lalu.
Jaksa menilai tindakan tersebut bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam sistem demokrasi Korea Selatan. Menurut penuntut, penggunaan kewenangan presiden secara sepihak dalam situasi krisis telah menimbulkan dampak luas terhadap kepercayaan publik dan stabilitas institusi negara.
Pengadilan Seoul dijadwalkan akan membacakan putusan atas perkara ini pada bulan depan. Putusan tersebut dinilai akan menjadi preseden penting bagi penegakan hukum terhadap pejabat tinggi negara di Korea Selatan, terutama dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan di masa darurat.
Di hadapan pengadilan, Yoon Suk Yeol menyampaikan pembelaan diri dengan menegaskan bahwa kebijakannya saat itu diambil demi kepentingan nasional. Ia beralasan bahwa deklarasi darurat militer diperlukan sebagai langkah menghadapi ancaman internal yang menurutnya membahayakan kedaulatan negara.
Yoon menyebut keputusannya untuk mendeklarasikan darurat militer dibenarkan dalam perjuangan melawan “aktivitas pro-China, pro-Korea Utara, dan pengkhianatan”.
Pernyataan tersebut menuai kritik luas dari kalangan oposisi dan pengamat hukum, yang menilai narasi ancaman eksternal digunakan untuk membenarkan tindakan represif terhadap institusi sipil. Sejumlah akademisi hukum tata negara menyebut kasus ini sebagai ujian penting bagi kematangan demokrasi Korea Selatan pasca-rezim otoriter di masa lalu.
Selain perkara penghalangan keadilan, Yoon juga tengah menghadapi tiga persidangan lain dengan tingkat ancaman hukuman yang lebih berat. Salah satu dakwaan paling serius adalah tuduhan memimpin pemberontakan, yang secara hukum dapat berujung pada hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Rangkaian kasus yang menjerat Yoon mencerminkan tekanan hukum yang belum pernah dialami mantan presiden Korea Selatan dalam skala sebesar ini. Publik kini menanti putusan pengadilan yang akan menentukan apakah Yoon akan menjadi presiden pertama dalam sejarah modern Korea Selatan yang dijatuhi hukuman berat atas tindakan politik selama masa jabatannya. []
Siti Sholehah.
